Sabtu, 17 Januari 2009

Bab Tentang Air-Air (lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Ada lima pendapat di kalangan para ulama :

Pertama : Tidak boleh berthaharah dengannya. Ini merupakan pendapat Jumhur 'Ulama seperti Al-Hasan, Malik, Syafi'iy, Ahmad, Ishaq, Abu 'Ubaid, Abu Yusuf dan Abu Hanifah dalam salah satu riwayat dan madzhabnya tetap di atas ini menurut keterangan Al-'Abdary.

Kedua : Boleh berwudhu dengannya. Ini adalah pendapat 'Ikrimah, Ats-Tsaury dan Al-Auza'iy dan pendapat kedua bagi Al-Hasan.

Ketiga : Boleh berwudhu dengan Nabidz korma yang direbus dalam safar dan tidak ada air. Ini adalah pendapat yang paling masyhur dari Abu Hanifah sebagaimana dalam Al-Mubdi'.

Keempat : Boleh menggabung antara berthaharah dengan Nabidz dan tayammum. Ini adalah pendapat Muhammad bin Hasan dan riwayat ketiga dari Abu Hanifah.

Kelima : Disunnahkan menggabung antara keduanya. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dalam riwayat keempat dan Ishaq dalam satu riwayat.



Dalil setiap pendapat

Dalil pendapat pertama adalah dalil-dalil yang tersebut diatas bahwa hanya air dari benda cair yang bisa dipakai berthaharah.

Adapun dalil pendapat kedua sampai lima adalah beberapa hadits yang menunjukkan tentang bolehnya berthaharah dengan Nabidz.



Tarjih

Tidak ada keraguan bahwa yang kuat adalah pendapat pertama karena kuatnya dalil-dalil mereka.

Adapun dalil pendapat kedua sampai kelima, dijawab dari beberapa sisi :



Satu : Seluruh dalil yang menunjukkan tentang syari'at berwudhu dengan Nabidz adalah hadits yang lemah dari sisi sanad dan mungkar dari sisi matan.

Hadits-hadits tentang syari’at berwudhu dengan Nabidz datang dari tujuh jalan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan tiga jalan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Penjelasan akan lemahnya kedua hadits tersebut beserta jalan-jalannya telah kami uraikan panjang lebar dalam “Takhrij Lengkap”.

Dan jalan yang paling masyhurnya adalah dari jalan Abu Fizarah meriwayatkan dari Abu Zaid maula ‘Amr bin Huraits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :



أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ لَيْلَةَ الْجِنِّ : مَا فِي إِدَاوَتِكَ ؟ قَالَ : نَبِيْذٌ. فَقَالَ : تَمْرَةٌ طَيِّبَةٌ وَمَاءٌ طَهُوْرٌ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata kepadanya pada malam Jin : “Apa (yang ada) dalam tempat air kulitmu ?”, (Ibnu Mas'ud) menjawab : “Nabidz”. (Beliau) bersabda : “Korma yang baik dan air yang thahur”.” (HR. 'Abdurrazzaq 1/179, Ibnu Abi Syaibah 1/31-32, Ahmad 1/402, 449, 450, 458, Abu Daud no. 48 –dan lafazh hadits baginya-, At-Tirmidzy no. 88, Ibnu Majah no. 384, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/256, Abu Ya'la 8/459 no. 5046, 9/203 no. 5301, Al-Baihaqy 1/10-11, Ibnu Syahin dalam Nasikh wal Mansukh no. 94, Ath-Thabarany 10/no. 9962-9967, Ibnu 'Ady dalam Al-Kamil 4/ 1330, 7/2746-2747, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin 3/150, Asy-Syasyi dalam Musnad-nya no. 882, 827-828, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq 1/52 no. 30-31 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal 33/332).

Dalam hadits diatas terdapat beberapa kelemahan sebagaimana yang kami uraikan dalam “Takhrij Lengkap”.

Berkata Abu Hatim dan Abu Zur’ah : “Tidak ada satu (hadits)pun yang shohih dalam bab ini (yaitu tentang berwudhu dengan memakai Nabidz,-pent.)”. Lihat : 'Ilal Ibnu Abi Hatim 1/45.

Berkata Al-Baihaqy : “Tidak ada suatupun yang shohih dari hal tersebut”. Lihat As-Sunan 1/10.

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 1/354 : “Hadits ini, sepakat para ulama Salaf dalam melemahkannya”.

Adapun dari sisi matan, maka hadits ini menyelisihi Al-Qur`an dan hadits yang shohih. Berkata Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil 7/2747 setelah menyebutkan hadits di atas : “Hadits ini tidaklah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan ia menyelisihi Al-Qur`an”.

Dan di dalam Shohih Muslim dari seorang tabi’iy bernama ‘Alqomah, beliau berkata :



سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ مَسْعُوْدٍ فَقُلْتُ : هَلْ شَهِدَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْجِنِّ ؟ قَالَ : لا َ...

“Saya bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud maka saya berkata : “Apakah ada salah seorang dari kalian (para shahabat-pent.) yang menyaksikan malam jin bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ?”, (Ibnu Mas'ud) berkata : “Tidak …..”.”



Dalam riwayat lain bagi Imam Muslim dari ‘Alqomah dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata :



لَمْ أَكُنْ لَيْلَةَ الْجِنِّ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ مَعَهُ

“Tidaklah saya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada malam jin dan saya sangat berharap saya berada bersama beliau.”



Berkata Imam An-Nawawy ketika mensyarah hadits di atas (4/168-170) : “Hadits ini sangat tegas menunjukkan batilnya hadits yang diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud dan selainnya, yang tersebut didalamnya tentang berwudhu dengan Nabidz dan menunjukkan (hadirnya) Ibnu Mas’ud bersama beliau (shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam) pada malam Jin. Sesungguhnya hadits ini (riwayat Muslim di atas,-pent.) adalah shohih dan hadits (tentang) Nabidz adalah lemah menurut kesepakatan Ahli Hadits …”. Dan pernyataan serupa beliau sebutkan dalam Al-Majmu' 1/141.

Berkata Ali Ibnul Madiny dalam 'Ilalnya hal. 100 : “Adapun ‘Alqomah, dia mengingkari keberadaan Ibnu Mas'ud bersama beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam,-pent.) pada malam Jin dan beliau (‘Alqomah) yang paling ‘alim tentang ‘Abdullah”. Dan lihat juga pernyataan serupa dari Imam Ahmad dalam Al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijal no. 456 dan 1745.



Jawaban dari sisi kedua : Orang-orang Hanafiyah yang berdalilkan dengan hadits Nabidz bagaikan memakan buah simalakama, sebab bila mereka berdalilkan dengan hadits Nabidz maka itu adalah hukum tambahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Dan tambahan terhadap suatu nash menurut mereka (orang-orang Hanafiyah) adalah naskh (penghapus hukum) dan naskh terhadap Al-Qur`an dalam kaidah mereka tidak boleh kecuali dengan nash dari Al-Qur`an juga atau nash dari hadits yang mutawatir. Sedangkan hadits Nabidz ini bukanlah hadits Mutawatir bahkan hanya hadits Ahad. Dan hadits Shohih tidak bisa me-naskh menurut mereka, apalagi hadits Nabidz ini adalah hadits yang lemah. Demikian makna keterangan Al-Qadhy Abu Bakr Ibnul ‘Araby dalam ‘Aridhotul Ahwadzy.

Dan jawaban ini sangat berat atas orang-orang Hanafiyah dan tidak mungkin mereka tolak walaupun mereka bersatu padu untuk menolaknya. Demikian makna pernyataan pengarang Tuhfatul Ahwadzy.



Sisi Ketiga : Andaikata haditsnya shohih, maka yang dimaksud dengan Nabidz adalah air yang dimasukkan padanya korma supaya lebih segar tanpa menyebabkan airnya berubah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Korma yang baik dan air yang thahur”. Korma disifatkan dengan kalimat “baik” dan air yang disifatkan dengan kalimat “thahur” ini menunjukkan bahwa yang thahur itu hanyalah airnya dan bukan Nabidz-nya yang merupakan kesatuan dari air dan korma.



Lihat pembahasan masalah ini dalam : Al-Ifshoh 1/72-74, Al-Majmu' 1/139-142, Ma'rifatus Sunan wal Atsar 1/130-142, Syarhus Sunnah 2/63-64, Syarh Ma'any Al-Atsar 1/96-97, Al-Ausath 1/252-257, Bidayatul Mujtahid 1/33, Tafsir Al-Qurthuby 13/51-53, Fathul Bary 1/354, Mukhtashor Sunan Abu Daud karya Al-Mundziry 1/82-83, 'Aunul Ma'bud 1/154-158, 'Aridhotul Ahwadzy 1/122-123 dan Tuhfatul Ahwadzy 1/245-249.



Delapan : Hadits ini juga menunjukkan bahwa air hangat yang berada di sungai, kolam, laut atau pada tempat-tempat yang tidak bisa dijaga dari terik matahari tidaklah makruh dan boleh dipakai berthaharah.

Dan penjelasan tentang masalah berthaharah dengan air yang dihangatkan/dipanaskan butuh uraian yang lebih mendetail, simak keterangan berikut ini :



Air yang dihangatkan/dipanaskan ada tiga macam :

1. Air yang hangat/panas karena terik matahari.

2. Air yang dihangatkan/dipanaskan dengan benda suci.

3. Air yang dihangatkan/dipanaskan dengan najis.



µ Adapun air yang hangat karena terik matahari, terbagi dua :

Satu : Air yang menjadi hangat oleh terik matahari karena tidak bisa dihindarkan dari terik matahari tersebut. Air yang seperti ini boleh dipakai berthaharah dan tidak pula makruh menurut kesepakatan para ulama.

Dua : Air yang sengaja dipanaskan di bawah terik matahari.

Pendapat Jumhur Ulama seperti Imam Malik, Ahmad, Abu Hanifah dan Daud Azh-Zhohiry, tidaklah makruh berwudhu dengan air yang sengaja dipanaskan di bawah terik matahari. Adapun Imam Syafi'iy, beliau berkata : "Saya tidak menganggap makruh air musyammas (air yang dihangatkan oleh terik matahari) kecuali kalau dianggap makruh dari sisi kedokteran".

Dan masalah ini menjadi lebih besar di kalangan orang-orang Syafi'iyah, pengikut Imam Syafi'iy, sehingga ada tujuh sisi pendapat di kalangan Syafi'iyah dalam masalah ini. Bahkan ada dari mereka yang menganggap bahwa berwudhu dengan air yang dipanaskan di bawah terik matahari adalah makruh secara mutlak. Mereka berdalilkan dengan sebagian riwayat yang berbunyi :



أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِعَائِشَةَ وَقَدْ سَخَّنَتْ مَاءً بِالشَّمْسِ : يَا حُمَيْرَاءُ لاَ تَفْعَلِيْ هَذَا فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الْبَرَصَ.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah dan ‘Aisyah telah memanaskan air di bawah matahari : “Wahai Humaira`, jangan kamu lakukan ini karena ia bisa menimbulkan sopak/belang”.”



Tentang hadits ini, Imam Nawawy -yang merupakan salah satu Imam besar orang-orang Syafi'iyah- menyatakan : “(Hadits) lemah menurut kesepakatan Ahli Hadits dan Al-Baihaqy telah meriwayatkannya dari beberapa jalan dan beliau lemahkan seluruhnya. Dan di antara mereka (Ahlu Hadits, -pent.) ada yag menjadikannya (baca : menganggapnya) sebagai hadits palsu”.

Dan Syaikh Al-Albany menghukumi hadits di atas sebagai hadits palsu dalam satu pembahasan lengkap dalam Irwa`ul Gholil no. 18.



Maka yang benar dalam masalah ini adalah bolehnya berthaharah dengan air yang sengaja dihangatkan di bawah terik matahari dan hal tersebut tidaklah makruh.

Dan Ibnu Muflih dalam dalam Al-Mubdi’ 1/38 menyebutkan bahwa para ahli kedokteran sepakat bahwa hal tersebut tidak mempunyai pengaruh terhadap munculnya penyakit sopak/belang.



Periksa : Al-Mughny 1/28-29, Hasyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 1/67, Syarhul Mumti’ 1/40, Al-Majmu’ 1/132-135 dan Ma’rifatus Sunan 1/138-140.



µ Adapun air yang dihangatkan/dipanaskan dengan benda suci, boleh berwudhu dengannya dan tidaklah makruh kecuali kalau airnya terlalu panas dan menjadi penghalang untuk menyempurnakan wudhu. Dalil tentang ini adalah dalil-dalil umum tentang thahur-nya air mutlaq yang hangat/panas ini masih tergolong air mutlaq. Dan berikut ini beberapa atsar dari shahabat tentang berwudhu dengan air hangat/panas :

Satu : Dari Zaid bin Aslam dari Ayahnya, beliau berkata :



كَانَ لِعُمَرَ قُمْقُمٌ فَيَسْخُنُ فِيْهِ الْمَاءَ فَيَتَوَضَّأُ

“Adalah Umar memiliki bejana, maka beliau memanaskan air didalamnya lalu beliau berwudhu”. (Dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq 1/175, Ibnul Mundzir 1/251, Ibnu Abi Syaibah 1/31, Ad-Daraquthny 1/37 dan Al-Baihaqy 1/6 dan dalam Al-Ma'rifah no. 22 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 16).



Dua : Dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma :



إِنَّهُ كَانَ يَتَوَضَّأُ بِالْحَمِيْمِ

“Sesungguhnya beliau berwudhu dengan air panas”. (Dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq 1/175, Ibnu Abi Syaibah 1/31 dan Ibnul Mundzir 1/251, berkata Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 17 : "Sanad(nya) shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim".)



Tiga : Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata :



لاَ بَأْسَ أَنْ يُغْتَسَلَ بِالْمَاءِ الْحَمِيْمِ وَيُتَوَضَّأَ بِهِ

“Tidak apa-apa mandi dengan air panas/hangat dan berwudhu dengannya”. (Dikeluarkan oleh 'Abdurrazzaq 1/175, dan dari jalan Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/251, dan serupa dengannya diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 1/31).



Empat : Dari Salamah Ibnul Akwa’ radhiyallahu ‘anhu :



إِنَّهُ كَانَ يُسَخَّنُ لَهُ الْمَاءُ فَيَتَوَضَّأُ بِهِ فِي الْبَرَدِ

“Dipanaskan untuk beliau air lalu beliau berwudhu dengannya pada waktu dingin”. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/31 dan Ibnul Mundzir 1/251 dengan sanad yang shohih).



Lima : Dari Rosyid bin Ma’bad Al-Wasithy, beliau berkata :



رَأَيْتُ الْمَاءَ يُسَخَّنُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ فِي الشِّتَاءِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ بِهِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ

“Saya melihat air dipanaskan/dihangatkan untuk Anas bin Malik di musim dingin kemudian (beliau) mandi dengannya pada hari Jum'at”. (Dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/251-252 dengan sanad yang hasan)



Pendapat tentang bolehnya berthaharah dengan air hangat adalah pendapat Jumhur ‘Ulama dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali Mujahid dan pendapat beliau tersebut tidaklah dianggap. Demikian keterangan Ibnu Qudamah dan An–Nawawy.

Lihat : Al-Mughny 1/27-28, Al-Mubdi’ 1/38, Al-Majmu’ 1/136-137, Al-Ausath 1/250-252, Fathul Bary 1/299.



µ Adapun air yang dipanaskan dengan najis, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Fatawa (21/69) menguraikan masalah ini sebagai berikut : “Adapun (air) yang dihangatkan/dipanaskan dengan najis, bukanlah najis menurut kesepakatan para imam sepanjang tidak terdapat padanya sesuatu yang menajisinya. Adapun (tentang) makruhnya ada perselisihan, dan tidaklah makruh menurut mazhab Asy-Syafi’iy, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari mereka berdua. Dan dianggap makruh oleh Malik dan Ahmad dalam riwayat yang lain dari keduanya …”.



Dari keterangan beliau bisa dipahami bahwa :

Satu : Air yang dipanaskan dengan najis bukanlah najis menurut kesepakatan para ‘ulama sepanjang tidak ada yang menajisinya.

Dua : Perselisihan dikalangan para ulama hanya dalam masalah makruh tidaknya air yang dipanaskan dengan najis.



Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah rincian sebagai berikut :

Satu : Bila airnya dipanaskan/dihangatkan dalam tempat yang mempunyai tutup yang kuat dan bisa dipastikan tidak ada asap maupun najis yang masuk kedalamnya, maka air seperti ini sama dengan air yang dihangatkan/dipanaskan dengan benda suci.

Berkata Syeikh Ibnu “Utsaimin rahimahullah : “Dan yang benar bila tutupnya kuat maka tidaklah makruh”.

Dua : Bila tidak dipastikan masuknya sesuatu/asap dari najis ke dalam air dan tutup juga tidak kuat, maka air yang seperti ini tetap berada di atas asalnya, yaitu thahur (suci dan mensucikan).

Berkata Imam An-Nawawy : “Dan dari Ahmad (ada riwayat) makruhnya (air) yang dihangatkan/dipanaskan dengan najis dan mereka tidak mempunyai dalil yang punya ruh (kekuatan,-red.) dan dalil kami adalah nash-nash yang umum dan tidaklah tsabit (kokoh, syah) adanya larangan”.

Tiga : Dipastikan telah masuk asap atau sesuatu yang lain dari najis ke dalam air.

Hukum keadaan ketiga ini diterangkan oleh ahli fiqhi di zaman ini Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “(Masalah) ini dibangun di atas (pendapat) bahwa istihalah, (dianggap) merubah najis menjadi suci. Kalau kita berpendapat dengan (pendapat) tersebut maka air tidak berbahaya (baca : tidak najis). Dan bila kita berpendapat bahwa istihalah tidak mensucikan dan salah satu dari (tiga) sifat air telah berubah karena asap ini maka ia menjadi najis”.



Lihat : Al-Mughny 1/29, Al-Inshof 1/29-31, Al-Mubdi' 1/39, Al-Fatawa 21/69-70, As-Syarh Al-Mumti' 1/39 dan Al-Majmu' 1/136.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar