Sabtu, 17 Januari 2009

Bab Tentang Air-Air (lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Sembilan : Hadits ini juga menunjukkan bahwa air apabila berubah bau, warna atau rasanya karena benda yang suci maka air tersebut tetap thahur dan bisa dipakai berthaharah sepanjang air itu masih berada di atas hakikatnya walaupun kadang telah bertambah kadar garamnya, panasnya, dinginnya atau yang semisal dengannya. Demikian keterangan Syaikh Al-Bassam dalam Taudhih Al-Ahkam 1/90.

Membicarakan tentang air yang bercampur dengan air suci seperti sabun, shampo, daun bidara, garam dan lain-lain, apakah percampuran tersebut merubah hukum air atau tidak, perlu rincian yang detail. Dan rinciannya sebagai berikut :

Air yang bercampur dengan benda suci itu terbagi tiga :

1. Air yang bercampur dengan benda suci dan tidak merubah sifat air tersebut.

Hukum air yang seperti ini diterangkan oleh Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/258 dengan nash : “Allah Jalla Dzikrahu memerintahkan untuk berthaharah dengan air, maka apa-apa yang bercampur dengan air dari apa-apa yang disebutkan, lalu tidak merubah warnanya, tidak (pula) rasanya dan tidak (pula) baunya maka berthaharah dengannya adalah boleh dan tidak ada perselisihan pada (hal tersebut)”.

Dan berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/25 : “Kami tidak mengetahui ada perselisihan antara ahlil ilmu tentang bolehnya berwudhu dengan air yang bercampur dengan benda suci yang tidak merubahnya kecuali apa yang diriwayatkan dari Ummu Hani dan dari Az-Zuhry”. Demikian keterangan beliau secara ringkas.

2. Air yang bercampur dengan benda suci dan merubah air itu dan mendominasinya.

Air yang seperti ini bukan lagi air mutlaq yang suci dan mensucikan tapi air tersebut telah berubah menjadi air muqayyad sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya. Seperti minuman-minuman berupa air teh, susu, sirup dan lain-lainnya.

3. Air yang bercampur dengan benda suci dan merubahnya tapi tidak mendominasinya dan tidak mencabut nama air mutlaq darinya.

Air yang seperti ini disepakati oleh para ulama bahwa hukumnya adalah thahir (Suci).

Namun para ulama berselisih apakah air tersebut tetap thahur (mensucikan), bisa dipakai berthaharah atau tidak ?.

Ada dua pendapat di kalangan para ulama :

Satu : Tidak boleh dipakai berthaharah, ini adalah mazhab Malik, Asy-Syafi'iy, Ishaq, Daud Azh-Zhohiry dan Ahmad dalam satu riwayat.

Dua : Sepanjang masih dinamakan air mutlaq dan dzat dari benda suci tidak mendominasinya maka boleh dipakai berthaharah. Ini adalah mazhab Abu Hanifah dan Ahmad dalam riwayat lain.



Tarjih

Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua. Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala :



فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS. An-Nisa` : 43, Al-Ma`idah : 6)

Kalimat air dalam ayat adalah nakiroh dalam konteks nafi sehingga menunjukkan makna umum yaitu segala jenis air yang masih berada di atas asal penciptaannya atau masih dalam kategori air mutlak bercampur dengan benda suci maupun tidak. Demikian makna keterangan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 21/25

Dan berkata Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (1/199) : “Segala air yang bercampur dengan segala sesuatu yang suci atau boleh (baca : Halal, bukan najis) kemudian nampak warna, bau dan rasanya namun nama air belum hilang darinya, maka berwudu (denganya) adalah boleh dan (demikian pula) mandi janabah dengannya adalah boleh”.

Dan berkata Asy-Syaukany rahimahullah dalam As-Sail Al-Jarrar 1/58 : “Tahqiq (dalam masalah) adalah bahwa campuran tersebut kalau mengeluarkannya dari penaman air mutlak seperti dikatakan air bunga dan semisalnya, maka air (seperti) ini bukanlah air yang Allah ciptakan sebagai (air) thahur (suci dan mensucikan). Dan kalau (campuran itu) tidak mengelurkannya dari nama air mutlak maka air itu adalah thahur walaupun telah merubah sebagian dari sifatnyanya. Sesungguhnya hal tersebut tidak berbahaya dan tidak mengeluarkannya dari keadaannya sebagai (air) thahur”.



Dan di antara dalil yang menguatkan pendapat ini :



Satu : Hadits Abu Hurairah yang sedang kita bahas ini.

Sisi pendalilan dari hadits diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Dan laut sangat berubah rasanya karena sangat garamnya. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah mengabarkan bahwa airnya adalah thahur bersama perubahan ini, maka apa-apa yang lebih ringan kegaramannya dari (air laut) lebih pantas menjadi thahur”. Lihat Al-Fatawa 21/26



Dua : Hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhari :



أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِغُسْلِ ابْنَتِهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam memerintahkan supaya (jenazah) putrinya dimandikan dengan air dan bidara.”



Tiga : Hadits Qais bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu :



أَنَّهُ أَسْلَمَ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.

“Sesungguhnya beliau masuk islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan bidara”. (Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq 6/9, Ahmad 5/61, Abu Daud no.355, At-Tirmidzy no. 605, An-Nasa`i 1/109 dan dalam Al-Kubra 1/107 no. 193, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqo no. 4, Al-'Ijly dalam Tarikh Ats-Tsiqot hal. 393, Ibnu Khuzaimah no. 253-255, Ibnu Hibban no. 1240, Al-Baihaqy 1/171, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 2/348, Ibnu Sa'd dalam Ath-Thobaqot 7/36, Ath-Thabarany 18/no. 866-867 dan dalam Al-Ausath 7/no. 7041 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 7/117, dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Shohih Abu Daud dan Al-Irwa` no. 128 dan Al-Wadi'iy rahimahumallah dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fii Ash-Shohihain).

Sisi pendalilan dari hadits kedua dan ketiga diatas, juga diterangkan oleh Ibnu Taimiyah : “Telah dimaklumi bahwa bidara pasti merubah air. Maka andaikata perubahan ini merusak air, tentu tidak akan (beliau) perintah dengannya”. Lihat Al-Fatawa 21/26



Empat : hadits Ummu Hani` radhiyallahu ‘anha :



أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اغْتَسَلَ وَمَيْمُوْنَةُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِيْ قَصْعَةٍ فِيْهَا أَثَرُ الْعَجِيْنِ.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mandi, (beliau) dan Maimunah dari satu bejana berupa mangkuk ceper yang besar padanya ada bekas adonan roti”. (HR. Ahmad 6/342, Ibnu Majah no. 378, An-Nasa`i 1/131 dan dalam Al-Kubra 1/117 no. 242, Ibnu Hibban no. 1245, Al-Baihaqy 1/7, Ibnu Sa'd dalam Ath-Thobaqot 8/137, Ath-Thobarany 24/no. 1051, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 9/15 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 17 dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa` 1/64. Adapun Syeikh Muqbil, dalam kitabnya Ahadits Mu'allah Zhohiruha Ash-Shihhah hal. 264 (cet. Kedua) beliau menyebutkan bahwa Imam Al-Bukhary berkata : “Saya tidak mengetahui Mujahid ada mendengar dari Ummu Hani`”. Lihat Sunan At-Tirmidzy 4/246, Tuhfatul Asyraf 12/456. Tapi walaupun demikian hadits ini mempunyai jalan-jalan lain yang bisa menguatkannya)

Sisi pendalilan : Biasanya kalau suatu tempat ada bekas adonan rotinya kemudian dituang padanya air, pasti akan berubah apalagi kalau airnya sedikit. Andaikata air tersebut tidak Thahur lagi maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak akan mandi janabah darinya. Demikian makna keterangan Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa 21/27-28.



Lihat pembahasan di atas dalam : Al-Mughny 1/21,24-25, Al-Mubdi' 1/41, Al-Inshof 11/32-33, Al-Fatawa 2/24-29, Al-Majmu' 1/153, Raudhoh Ath-Tholibin 1/10, Al-Ausath 1/256-258, Al-Muhalla 1/199-202, Syarhus Sunnah 2/62-63 Bidayatul Mujtahid 1/27, As-Sail Al-Jarrar 1/56,58 dan Ad-Darary Al-Mudhiyah 1/72-73.



Sepuluh : Hadits ini menunjukkan tentang halalnya seluruh jenis hewan laut.

Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang halalnya seluruh hewan laut kecuali dalam dua perkara :

Satu : Ikan Thafi, yaitu ikan yang mati di laut tanpa sebab, lalu mengapung di atas permukaan air.

Menurut pendapat Abu Hanifah dan Ats-Tsaury dalam satu riwayat, tidak halal untuk dimakan.

Dan jumhur ulama berpendapat tentang halalnya memakan ikan yang seperti itu.



Tarjih

Tidak diragukan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah halalnya ikan yang Thafi. Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala :



أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (QS. Al-Ma`idah : 96)



Dan juga berdasarkan hadits Abu Hurairah ini :



اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Yang halal bangkainya”.



Adapun Abu Hanifah, beliau berdalilkan dengan hadits-hadits yang dilemahkan oleh para imam ahli hadits dan sangat tidak boleh dipakai berhujjah karena bertentangan dengan dalil-dalil yang shohih lagi kuat.



Baca : Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan halaman setelahnya, Al-Majmu' 1/129, Al-Badr Al-Munir 2/45-46, At-Tamhid 16/223-228, Ma'alimus Sunan 1/83, Tuhfatul Ahwadzy 1/189 dan Al-Ath'imah karya Syeikh Sholih Al-Fauzan hal. 85-90.



Dua : Ikan laut yang mirip dengan hewan darat yang haram, seperti anjing laut, babi laut, ular laut dan lain-lainnya.

Dalam masalah ini ada beberapa pendapat di kalangan para ulama :

1. Seluruh hewan laut halal tanpa kecuali. Ini adalah Madzhab Malikiyah dan pendapat yang paling kuat dalam madzhab Syafi’iyah.

2. Seluruh hewan laut adalah halal kecuali kodok, buaya dan ular. Ini adalah pendapat Hanbaliyah.

3. Seluruh hewan laut haram dimakan kecuali ikan yang tidak Thofi. Ini adalah madzhab Hanafiyah dan satu sisi pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.

4. Ikan boleh dimakan dan selain ikan yang boleh dimakan hanya hewan yang mirip dengan hewan darat yang halal dimakan, seperti sapi, kambing, kuda dan semisalnya. Ini adalah sisi pendapat lain dalam madzhab Syafi’iyah dan satu pendapat dalam madzhab Hanbaliyah.



Tarjih

Yang benar dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang mengatakan bahwa seluruh hewan laut adalah halal tanpa kecuali.

Hal tersebut berdasarkan firman Allah :



أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (QS. Al-Ma`idah : 96)

Dan hadits Abu Hurairah :



اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Yang halan bangkainya”.

Ayat dan hadits ini umum menunjukkan halalnya seluruh hewan laut tanpa kecuali.

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Khoththoby, Ash-Shon'any, Asy-Syaukany, Ibnu 'Utsaimin dan Syeikh Sholih Al-Fauzan.

Berkata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Dan diambil dari keumuman sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam “yang halal bangkainya” bahwa seluruh jenis ikan (kecil maupun besar) dan tidak ada perkecualian sedikitpun darinya. Ini pendapat yang kuat lagi benar, berbeda dengan orang yang berpendapat “diperkecualikan kodok, buaya dan ular”. Yang benar bahwa seluruh hewan laut -walaupun berbentuk hewan yang diharamkan di darat- adalah halal dan bukan najis walaupun telah mati”.



Baca : Tafsir Al-Qurthuby 6/220, At-Tamhid 16/223-228, Subulus Salam 1/16, Nailul Author 1/26, Tuhfatul Ahwadzy 1/189, Al-Ath'imah hal. 65-87 dan Fath Dzil Jalali wal Ikram 1/46.



Sebelas : Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 16/223 : “Juga dari kandungan fiqhi dalam hadits ini bahwa seseorang musafir apabila tidak ada air bersamanya kecuali apa yang cukup untuk diminum (saja) dan apa yang ia tidak bisa merasa cukup darinya karena sedikitnya, maka boleh baginya untuk bertayamum dan membiarkan air itu untuk dirinya sampai dia menemukan air”.



Dua belas : Hadits ini juga menunjukkan bolehnya melebihkan jawaban dari apa yang ditanyakan oleh penanya untuk menyempurnakan faedah, dan sekaligus menunjukkan bahwa jawaban tidak harus terbatas sesuai dengan pertanyaan penanya.

Sisi pendalilan dari hadits sangat jelas yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hanya ditanya tentang air laut maka beliau jelaskan akan sucinya air laut dan menambahkan bahwa bangkainya adalah halal. Karena orang yang bertanya tentang laut tatkala menyebutkan bahwa dirinya sering mengarungi lautan maka tambahan jawaban beliau “halal bangkainya” tentunya sangat berharga dan sangat dia perlukan.

Dan hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang ditanya harus cermat terhadap keadaan orang yang bertanya sehingga jawaban yang diberikan bermanfaat untuknya.

Dan banyak lagi dalil-dalil dari Al-Qur`an dan hadits yang mirip dengan hadits Abu Hurairah ini, diantaranya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :



وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَامُوسَى. قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى

“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?”. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya”.” (QS. Thoha : 17-18)

Pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Musa “apa yang ada di tangan kananmu” dan Nabi Musa menyebutkan empat jawaban : tongkatnya, bersandar diatasnya, untuk menggiring atau pukul daun untuk kambingnya dan ada keperluan-keperluan lain darinya. Lihat Tafsir Al-Qurthuby 11/106.



Dan Allah Ta’ala berfirman :



يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin”.” (QS. Al-Baqorah : 215)



Mereka hanya bertanya tentang apa yang mereka infakkan dan jawabannya tentang apa yang mereka infakkan dan siapa yang menerima infak tersebut.



Dan dalam Shohih Al-Bukhory dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata :



أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ : لاَ يَلْبَسُ الْقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ السَّرَاوِيْلَ وَلاَ الْبُرْنُسَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ الْوَرْسُ أَوِ الزَّعْفَرَانُ فَإِنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبِسِ الْخُفَّيْنِ وَلِيَقْطَعْهُمَا حَتَى يَكُوْنَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ

“Sesungguhnya seorang lelaki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam : “Apa yang boleh dipakai oleh orang yang ihram ?”, maka beliau menjawab : “Jangan pakai gamis, imamah, sirwal (celana lebar), burnus (baju gamis yang memakai tutup kepala) dan tidak (pula) yang disentuh oleh (wangi) Al-Wars atau Za'faran, apabila dia tidak mendapatkan sendal maka pakailah dua khuf (sepatu kulit yang menutupi mata kaki) dan potonglah hingga berada di bawah mata kaki”.



Baca : Ma'alimus Sunan 1/81-83, Al-Majmu' 1/129, Al-Badr Al-Munir 2/47, Subulus Salam 1/16, Nailul Author 1/26, 'Aridhatul Ahwadzy 1/92, 'Aunul Ma'bud 1/154 dan Fath Dzil Jalali wal Ikram 1/46.



Tiga Belas : Berkata Syeikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram 1/46 : “Dan diambil faedah dari hadits tentang pengharaman bangkai (hewan) darat. Hal tersebut secara pemahaman (yaitu pemahaman kebalikan-pent.) walaupun yang menjadi landasan dalam pengharaman bangkai (hewan) darat adalah firman-Nya Ta’ala :



قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor”.” (QS. Al-An'am : 145)



Dan demikian (pula) firman-Nya Ta’ala :



حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maidah : 3)”
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar