Sabtu, 17 Januari 2009

Bab Tentang Air-Air (Lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Dalil-Dalil Setiap Pendapat



Adapun pendapat pertama, mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya :



1. Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan :



وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu.” (QS. Al-Anfal : 11)



Dan Allah Azhomat Hikmatuhu berfirman :



وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. Al-Furqan : 48)



Allah Al-‘Alim Al-Hakim berfirman :



فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu.” (QS. An-Nisa` : 43, Al-Ma`idah : 6)

Sisi pendalilan : Ayat-ayat di atas dan banyak dalil umum lainnya adalah merupakan nash yang sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa air walaupun kejatuhan najis namun masih berada di atas asal penciptaannya yaitu belum berubah salah satu dari tiga sifatnya maka terhitung suci dan tercakup dalam konteks ayat-ayat di atas, airnya banyak maupun sedikit, lebih dua qullah maupun kurang.



2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :



وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ

“Dan (Dia) menghalalkan bagi mereka segala yang baik”. (QS. Al-A’raf : 157)

Sisi pendalilan : Air yang tidak berubah oleh najis yang jatuh kepadanya masih tetap berada di atas asal penciptaannya maka ia terhitung hal-hal baik yang tercakup dalam konteks ayat. Demikian makna keterangan Ibnul Qoyyim.



3. Hadits no.12 yang akan datang penjelasannya tentang perintah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk menuangkan setimba air menyiram kencing a’raby (orang arab pedalaman) yang kencing di masjid.

Sisi pendalilannya : Tempat kencing a’raby yang sedemikian rupa kembali menjadi suci hanya dengan setimba air, ini menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidaklah merusak air yang sedikit. Sehingga bisa ditetapkan bahwa air yang kejatuhan najis tidaklah dianggap najis kecuali bila merubah rasa, warna atau baunya, sedikit maupun banyak.



4. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya air adalah thohur tidak dinajisi oleh sesuatu apapun”.

Sisi pendalilan : Konteks hadits di atas adalah umum, tidak dibedakan antara air yang sedikit dan air yang banyak sepanjang tidak merubah rasa, warna atau baunya.



5. Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa air tidaklah menjadi najis kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya.



Adapun pendapat kedua, mereka berdalilkan dengan dalil-dalil berikut :



1. Hadits yang tengah kita syarah sekarang yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ , وَفِيْ لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ

“Apabila air dua qullah, maka dia tidak memikul al-khabats (najis)”, dan dalam satu lafazh : “Tidaklah najis”.”

Sisi pendalilan : Mafhumul mukhalafah (pemahan tersirat) dari hadits di atas bahwa kalau jumlah air kurang dari ukuran dua Qullah maka air itu najis secara mutlak bila kejatuhan najis walaupun tidak merubah salah satu dari tiga sifatnya.



Bantahan

Namun pendalilan di atas adalah lemah dari beberapa sisi :



Satu : Dalam hadits Ibnu ‘Umar tidak diterangkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bahwa apabila air kurang dari dua qullah maka dia pasti menjadi najis, bahkan mafhum dari hadits bahwa air yang kurang dari dua qullah bila kejatuhan najis mungkin menjadi najis dan mungkin juga tidak menjadi najis. Kalau begitu tidak pertentangan antara hadits Ibnu ‘Umar tentang dua qullah ini dan hadits Abu Sa’id beserta kesepakatan ulama tentang najis air yang kejatuhan najis bila berubah salah satu dari tiga sifatnya. Ini adalah cara yang wajib dipegang dalam mengkompromikan antara dalil-dalil seputar masalah ini. Demikian makna keterangan Imam Asy-Syaukany dalam As-Sail Al-Jarrar 1/55.



Dua : Andaikata mafhum yang disebut oleh penganut pendapat kedua benar, maka itu juga tidak bisa dipakai karena mafhum tersebut hanya berlaku pada satu bentuk saja, yaitu apabila air kurang dari dua qullah. Dan tentunya mafhum yang seperti ini tidak bisa berlaku secara umum dan juga tidak diberlakukan karena menyelisihi manthuq hadits Abu Sa’id dan lain-lainnya. Menurut kaidah para ulama dalam masalah yang seperti ini, bila manthuq bertentangan dengan mafhum maka manthuq lebih didahulukan. Demikian pula disini manthuq hadits Ibnu ‘Umar dan lain-lainnya lebih didahulukan terhadap mafhum hadits Ibnu ‘Umar tentang dua qullah. Demikian makna keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsiamin. Dan baca juga keterangan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 21/73 dan Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’dy dalam Fatawa Ibnu Sa’dy 1/189.



Tiga : Hadits dua qullah tidaklah menyamai keabsahan dan ketegasan dalil yang telah diuraikan dalam dalil no. 1 dari pendapat pertama. Demikian keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’dy dalam Fatawa Ibnu Sa’dy 1/189.



Empat : Telah berlalu penjelasan tentang tidak pastinya berapa ukuran dua qullah sehingga hadits Ibnu ‘Umar tidak bisa dijadikan sebagai ukuran. Berkata Ibnu Hazm membantah orang yang berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar : “Adapun hadits ‘dua qullah’, tidak ada hujjah bagi mereka sama sekali. Hal tersebut karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menentukan ukuran dua qullah dan tidaklah diragukan bahwa beliau ‘alaihissalam andaikata menjadikan (dua qullah) sebagai penentu antara apa yang menerima najis (apa yang menyebabkan air menjadi najis,-pent) dan yang tidak menerimanya niscaya beliau tidak menganggurkan pembatasannya kepada kita dengan pembatasan yang jelas lagi tidak berbelit-belit…”. Dari Al-Muhalla 1/154 dengan sedikit meringkas.



2. Hadits larangan bagi orang yang terjaga dari tidurnya untuk tidak memasukkan tangannya ke dalam bejana sampai ia mencucinya tiga kali. Akan datang dalam hadits no. 37.



Bantahan

Berkata Ibnul Qoyyim : “Pendalilan dengannya (yaitu dengan hadits ini,-pent.) adalah paling lemah dari ini semua karena tidak ada dalam hadits (ini) hal yang menunjukkan najisnya air (yaitu air bejana bila tercelup oleh tangan orang yang terjaga dari tidurnya) dan jumhur umat (berpendapat) sucinya (air itu) dan pendapat yang mengatakan najisnya adalah (pendapat) syadz (ganjil) yang paling syadz”.



3. Hadits larangan kencing di tempat air yang diam, yang akan datang dalam hadits no. 6.

Sisi pendalilan : Hadits ini menunjukkan air yang sedikit bisa menjadi najis oleh najis yang sedikit.



Bantahan

Pendalilan di atas lemah dari beberapa sisi :



Satu : Larangan kencing pada air yang diam tidaklah menunjukkan bahwa air tersebut seluruhnya menjadi najis walaupun najis hanya jatuh pada sebagian dari air itu.



Dua : ‘Illat (alasan, sebab) pelarangan kencing pada air yang diam bukan karena hal tersebut menjadikan air tersebut menjadi najis bahkan ‘illat pelarangannya adalah karena kencing pada air yang diam bisa menjadi pengantar yang menyebabkan air itu menjadi najis. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam syarah hadits no. 06 yang akan datang.



Tiga : Membedakan antara ukuran dua qullah atau lebih dengan ukuran yang kurang dua qullah dari sisi hukum adalah menyelesihi konteks hadits. Hal tersebut karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak mengkhususkan larangannya pada air yang kurang dari dua qullah saja, bahkan air yang lebih dari dua qullahpun bisa menjadi najis dengan kencing padanya. Buktinya, air yang banyak mungkin akan berubah dan berbau bila manusia terlalu banyak kencing padanya.

Demikian tiga sisi bantahan di atas disimpulkan dari keterangan Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan 1/65.



4. Hadits perintah mencuci bejana tujuh kali dari jilatan anjing dan perintah untuk membuang bekas minumnya. Yang akan datang dihadits no.10

Sisi pendalilan : Ini menunjukkan akan najisnya air bejana bekas jilatan anjing itu dan dalam hadits tidak diterangkan airnya berubah atau tidak.



Bantahan

Namun pendalilan diatas adalah lemah karena sama sekali tidak ada dalam hadits yang menunjukkan bahwa perintah mencuci bejana tersebut kalau airnya kuarang dari dua qullah. Demikian keterangan Ibnul Qayyim.



5. Hadits Wabishoh bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Ya’la dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ

"Tanyalah hatimu walau orang-orang memberi fatwa kepadamu".



6. Hadits Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhuma riwayat Ahmad, Ad-Darimy, At-Tirmidzy dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُك

"Tinggalkan apa yang membuat kamu ragu menuju apa yang membuat kamu tidak ragu."



Bantahan

Dua hadits di atas tidaklah menunjukkan perbedaan antara dua qullah dan selainnya. Berkata Imam Asy-Syaukany dalam As-Sail Al-Jarrar 1/56 berkaitan dengan dua hadits di atas : “Tidak ada dalam keduanya kecuali anjuran untuk wara’, tawaqquf pada perkara yang samar dan menjauhi syubhat…”.



Adapun pendapat ketiga, mereka berdalilkan sebagai berikut :



1. Hadits larangan kencing di tempat air yang diam, yang akan datang dalam hadits no. 6.

Sisi pendalilan : Konteks larangan dalam hadits ini adalah umum sehingga mencukup seluruh air, yang banyak maupun sedikit. Dan tentunya dikecualikan darinya air yang sangatlah banyak dan telah mencapai batasan tertentu yang berat sangkaan menyatakan bahwa najis tidak sampai kesitu.



Bantahan

Berkata Ibnul Qayyim : “Seluruh ini adalah menyelisihi madlul (makna yang ditunjukkan) hadits dan menyelisihi apa yang manusia berada diatasnya, dan (menyesilihi) orang-orang yang berilmu secara keseluruhan, karena mereka melarang kencing pada air-air ini –walaupun hanya sekedar kencing- agar menajisinya sebagai Saddu Dzari'ah[1], karena apabila manusia diberi kemungkinan untuk kencing pada air-air ini –walaupun sangat besar lagi banyak- maka tidak akan lama air itu berubah dan rusak bagi manusia sebagaimana yang telah kita lihat dari perubahan sungai-sungai yang mengalir karena terlalu banyak kencing...”.



2. Diriwayatkan bahwa ada orang Zinjy yang meninggal dalam sumur zamzam lalu Ibnu ‘Abbas memerintahkan akan airnya dikuras.

Sisi pendalilan : Dimaklumi bersama bahwa air Zamzam lebih dari dua qullah.



Bantahan

Sangkaan mereka ini adalah batil tidak ada asalnya. Berkata Imam Asy-Syafi’iy : “Saya berjumpa dengan sejumlah Syaikh Mekkah kemudian saya tanya kepada mereka tentang hal ini maka mereka berkata : “Kami tidak pernah dengar tentang ini”.”

Dan Al-Baihaqy dan selainnya meriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyyainah Imam besar kota Mekkah bahwa beliau berkata : “Saya di Mekkah semenjak 70 tahun, saya tidak melihat seorangpun –tidak kecil dan tidak (pula) besar- mengenal hadits Zinjy yang mereka sebutkan dan saya tidak mendengar seorang pun berkata (air) Zamzam telah dikuras”. Baca Al-Majmu’ 1/167.



Tarjih



Nampak dari penjelasan di atas bahwa yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Demikian dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rajab, Ash-Shon’any, Asy-Syaukany, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab beserta ulama Najd, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dan lain-lainnya. Wallahu Ta’ala A’lam.



Baca pembahasan di atas dalam : Al-Ausath 1/164-273, Al-Mughny 1/36-43, Al-Ifshoh 1/71, Al-Inshof 1/55-57, Al-Majmu’ 1/162-170, Al-Muhalla dalam masalah no. 136, Majmu’ Al-Fatawa 21/30-35, Tahdzibus Sunan 1/56-74, Subulus Salam 1/17-23, Nailul Authar 1/39-41, As-Sail Al-Jarrar 1/54-56, Aunul Ma’bud 1/103 dan seterusnya, Tuhfatul Ahwadzy 1/173 dan seterusnya, Asy-Syarh Al-Mumti’ 1/44-49 dan Taudhih Al-Ahkam.



Empat : Setelah mengetahui bahwa air kejatuhan najis tidak menjadi najis kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya, mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana kalau najis tersebut jatuh pada benda cair selain dari air seperti susu, air kelapa dan lain-lainnya.

Uraian masalah ini adalah sebagai berikut :

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 1/175-176 : “Adapun selain air dari (benda-benda) cair dan selainnya yang berupa (benda-benda) ruthab (basah) maka ia menjadi najis dengan melekatnya najis (padanya) walaupun (jumlahnya) mencapai beberapa qullah, dan ini tidak perbedaan antara ashhab kami (pengikut madzhab Syafi’iyyah) dan saya tidak mengetahui ada penyelisihan dari seorang ulama pun”.

Demikian pernyataan Imam An-Nawawy, mungkin yang beliau inginkan dari pernyataan beliau “saya tidak mengetahui ada penyelisihan dari seorang ulama pun” yaitu dari ulama Syafi’iyyah, karena perselisihan dalam masalah ini adalah masyhur.

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/44-45 menyebutkan bahwa ada tiga riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah ini :



1. Benda cair selain air tidaklah najis bila kejatuhan najis kecuali kalau berubah salah satu dari tiga sifatnya.

2. Benda cair selain air bila kejatuhan najis menjadi najis walaupun banyak.

3. Benda cair yang asalnya adalah air seperti cuka korma tidaklah najis karena yang mendominasi pada cuka tersebut adalah air, kalau sebaliknya maka ia menjadi najis.



Dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim bahwa semua benda cair selain air –sedikit maupun banyak- adalah sama hukumnya dengan air yaitu tidak najis walaupun kejatuhan najis sepanjang tidak merubah sifat-sifatnya. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya dari Kitab dan tidak (pula) dari Sunnah”.

Pendapat ini juga yang dipegang oleh Al-Auza’iy, Az-Zuhry, Al-Bukhary, Daud Azh-Zhohiry dan diriwayatkan dari Imam Malik. Dan ia merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad. Baca : Al-Jami’ lil ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah bersama ta’liq-nya 1/128-130.



Lima : Pembahasan di atas adalah berkaitan dengan benda cair selain air. Adapun kalau najis jatuh pada benda padat maka Imam Ibnu ‘Abdil Barr menukil kesepakatan dikalangan para ulama bahwa benda padat bila kejatuhan bangkai (baca : najis) maka yang dibuang hanyalah bangkai tersebut dan sekitarnya kalau memang dipastikan bahwa tidak sesuatu lain yang menerpa bagian lainnya. Baca : Fathul Bary 1/344.

Dalil tentang hal tersebut adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary, beliau berkata :



أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِيْ سَمْنٍ فَقَالَ أَلْقُوْهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرُحُوْهُ وَكُلُوْا سَمْنَكُمْ

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ditanya tentang tikus jatuh dalam samn (minyak padat) maka beliau bersabda : “Lemparkanlah (tikus itu) dan buanglah sekitarnya dan makanlah samn kalian”.”.

Wallahu Ta’ala A’la Wa A’lamu Wa Ahkam.

[1] Saddu Dzari'ah adalah mencegah wasilah-wasilah yang zhohirnya boleh namun bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang guna menolak terjadinya kerusakan”.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar