Sabtu, 17 Januari 2009

Bab Tentang Air-Air (lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Sababul Wurud

Hadits ini mempunyai sabab wurud yang shohih dari seluruh jalan-jalannya. Lafadznya dari jalan Abu Sa’id adalah sebagai berikut :



قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنَتَوَضَّأُ (وَفِيْ رِوَايَةٍ : أَتَتَوَضَّأُ) مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةٍ وَهِيَ بِئْرٌ يُلْقَى فِيْهَا الْحِيَضُ وَلُحُوْمُ الْكِلَابِ وَالنَّتِْنُ ؟, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَىآلِهِ وَسَلَّمَ (( إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ ))

“Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah kami (boleh) berwudhu (dalam satu riwayat : “Apakah engkau berwudhu”) dari Sumur Budha’ah sedangkan dilemparkan kedalamnya Al-Hiyadh, daging-daging anjing dan An-Natnu ? maka beliau menjawab : “Sesungguhnya air adalah thohur tidak dinajisi oleh sesuatu apapun”.”.



Lughotul Hadits



* Sumur Budha’ah, menurut keterangan Imam An-Nawawy dalam Tahdzib Asma` wal Lughot 2/1/36 diharakati dengan didhommah ba`-nya dan boleh juga dikashroh, keduanya adalah dua bacaan yang terkenal disebutkan Ibnul Faris dalam Al Mujmal, Al-Jauhary dan selain keduanya. Dan harakat dhommah lebih terkenal dan lebih jelas. Beliau juga menjelaskan bahwa Sumur Budha’ah terletak di diyar (pemukiman) Bani Sa’idah, kota Madinah. Dan ada yang mengatakan bahwa Budha’ah adalah nama sumur dan ada juga yang mengatakan bahwa Budha’ah adalah nama pemiliknya sehingga sumur itu diberi nama dengan nama pemiliknya”.

Dan Imam Asy-Syaukany menganggap bahwa riwayat yang paling terjaga (yang paling kuat) adalah dibaca dengan harakat dhommah.

Periksa : Al-Badr Al-Munir 2/61-62, Nailul Author 1/39, Tuhfatul Ahwadzy 1/169 dan ‘Aunul Ma'bud 1/126.



* Al-Hiyadh, dikasrah Ha`nya dan difathah Ya`nya, jamak dari Haidhoh. Maksudnya adalah kain yang dipakai oleh para perempuan untuk menyekah darah haidhnya.

Baca : Al-Badr Al-Munir 2/62, Nailul Author 1/39, Tuhfatul Ahwadzy 1/169 dan ‘Aunul Ma'bud 1/126.



* At-Natnu dengan difathah Nun-nya dan disukun Ta`-nya, dalam bahasa Arab adalah bermakna bau busuk. Namun menurut Ibnu Raslan, sepantasnya bacaannya dengan difathah Nun-nya dan dikasroh Ta`-nya sehingga maknanya adalah sesuatu yang mempunyai bau busuk.

Baca : Nailul Author 1/38, Tuhfatul Ahwadzy 1/169 dan ‘Aunul Ma'bud 1/126.



Syarah Hadits:



Satu : Berkata Imam Syafi'iy : "Sesungguhnya Sumur Budha’ah sangat banyak airnya lagi luas, dilemparkan padanya berbagai macam najis yang tidak merubah warna dan tidak (pula) rasanya, dan tidaklah nampak padanya bau (tidak enak,-pent.), maka dikatakan pada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam "Engkau berwudhu dari Sumur Budha’ah padahal dilemparkan padanya begini dan begini", maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menjawab dengan berkata : “Air itu tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun”. Dan beliau menjelaskan bahwa tentang air semisalnya (hukumnya sama,-pent.), karena beliau menjawab dengannya. Lihat As-sunan Al-Kubra karya Al-Baihaqy 1/265.



Dua : Berkata Al-Khoththoby dalam Ma'alimus Sunan 1/73 : "Boleh jadi banyak orang yang menyangka bila mendengar hadits ini, bahwa hal ini merupakan kebiasaan dari mereka (di zaman para shahabat,-pent.) dan mereka melakukan perbuatan tersebut dengan memaksudkannya dan secara sengaja. Padahal hal ini tidaklah boleh disangkakan pada seorang (kafir) dzimmi, bahkan pada watsany (penyembah patung) sekalipun apalagi (hal tersebut disangkakan) pada seorang muslim. Dan terus-menerus kebiasaan manusia semenjak dahulu hingga sekarang, muslim maupun yang kafir, untuk mensucikan air dan menjaganya dari najis-najis, maka bagaimana bisa disangkakan terhadap orang-orang di zaman tersebut, padahal mereka adalah tingkatan yang paling tinggi dari penganut agama dan Jama'ah kaum muslimin yang paling baik, sementara air di negeri mereka sangatlah jarang dan kebutuhan mereka terhadap (air tersebut) sangat mendesak, (untuk disangka) akan perbuatan mereka terhadap air dan kelakuan mereka terhadapnya seperti itu. Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah melaknat orang-orang yang membuang air di tempat-tempat pengaliran air dan jalan-jalannya. Maka bagaimana (bisa) orang yang menjadikan sumber-sumber air dan mata-mata air sebagai tempat untuk najis-najis dan membuang kotoran, dan ini tidaklah pantas untuk keadaan mereka. Sesungguhnya hal tersebut terjadi hanyalah karena sumur ini (Sumur Budha’ah) tempatnya di tanah yang miring dan aliran-aliran air menyapu kotoran-kotoran ini dari jalan dan berbagai sudut serta membawanya lalu menumpahkannya kedalam (sumur). Dan air itu karena banyaknya, jatuhnya hal-hal ini tidaklah memberikan pengaruh kepadanya dan tidak (pula) merubahnya."

Demikian pula keterangan At-Thiby dan beberapa ulama yang lain. Penafsiran ini yang harus dipegang dalam memahami hadits. Baca : Tuhfatul Ahwadzi 1/170.



Tiga : Perkataan dalam hadits “tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun”, kalimat “sesuatu apapun” dalam hadits ini bentuknya adalah nakirah fii siyaqin nafyi (umum dalam konteks penafian) sehingga menunjukkan bahwa najis apa saja yang terjatuh dalam air tidak akan menajisi air tersebut walaupun najisnya lebih mendominasi atau telah merubah salah satu dari tiga sifat air ; warna, bau dan rasanya. Akan tetapi pengertian umum yang terkandung dalam konteks hadits ini tidaklah dipakai karena para ulama telah sepakat bahwa air menjadi najis bila salah satu dari tiga sifatnya berubah karena kejatuhan najis.

Berkata Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma' point ke 11 : "Dan (para ulama) sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak, apabila terjatuh kedalamnya najis, lalu merubah rasa, warna atau bau air tersebut, maka ia adalah najis sepanjang (keadaannya) seperti itu".

Berkata Ibnu Hubairah dalam Al-Ifshoh : "Dan para ulama sepakat bahwa apabila air berubah karena najis maka ia menjadi najis, sedikit maupun banyak".

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu' 1/131 : "Sesungguhnya hadits ini 'Ammun Makhshush (berlaku umum namun ada sesuatu yang diperkecualikan,-pent.) dikhususkan (baca : diperkecualikan) darinya air yang berubah oleh najis karena dia (dianggap) najis menurut kesepakatan para ulama". Demikian pula pernyataan Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir 2/67.

Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : "Adapun air, apabila ia berubah oleh najis-najis maka ia telah menjadi najis menurut kesepakatan (para ulama,-pent.)".

Dan akan datang pada hadits yang ketiga tambahan penjelasan tentang hal ini.



Empat : Imam At-Thahawy dalam Syarah Ma'ani Al-Atsar 1/12 menyebutkan bahwa Sumur Budha’ah adalah jalan untuk air menuju ke kebun-kebun dan airnya tidak menetap di Sumur Budha’ah tersebut. Dan hal tersebut dinukil dari Al-Waqidy.

Namun pernyataan diatas tidaklah benar dan tidak diterima, alasannya bisa dipahami dari bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap hal tersebut dalam Majmu' Al-Fatawa 21/41, beliau berkata : "Dan Sumur Budha’ah menurut kesepakatan para ulama dan orang yang punya pengetahuan tentang (sumur itu), dia adalah sumur yang tidak mengalir. Apa yang disebutkan dari Al-Waqidy bahwa sumur itu mengalir adalah perkara yang batil dan Al-Waqidy sendiri tidaklah dipakai berhujjah menurut kesepakatan para ulama. Dan tidaklah diragukan bahwa tidak ada air yang mengalir di Madinah pada masa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Adapun mata air Az-Zurqa` dan mata-mata air Hamzah baru ada setelah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Sumur Budha’ah masih tetap ada sampai hari ini di timur Madinah dan ia (pun) dikenal". Lihat pula keterangan beliau dalam jilid 21 halaman 60-61.

Dan pernyatan senada dengan itu dalam menyalahkan perkataan Al-Waqidy juga ditegaskan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir 2/65-66.



Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :



3. وَعَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ )). أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَه وَضَعَّفَهُ أَبُوْ حَاتِمٍ.

3. Dan dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya air tidak dinajisi oleh sesuatu apapun kecuali apa yang mendominasi terhadap bau, rasa, dan warnanya". Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dilemahkan oleh Abu Hatim.



4. وَلِلْبَيْهَقِيِّ : (( الْمَاءُ طَاهِرٌ إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ رِيْحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيْهِ )).

4. Dan bagi Al-Baihaqy : "Air adalah suci kecuali kalau berubah baunya, rasanya, atau warnanya karena najis yang jatuh padanya".



Takhrijul Hadits



Hadits Abu Umamah dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 521, Ad-Daruquthny 1/28-29, Al-Baihaqy 1/259 dan dalam Al-Ma'rifah no. 391, dan At-Thabarany dalam Al-Kabir 8/no. 7503 dan dalam Al-Ausath 1/226/744, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 14 semuanya dari jalan Risydin bin Sa'ad dari Mu'awiyah bin Sholih Al-Hadhramy dari Rasyid bin Sa'ad dari Abu Umamah Al-Bahily dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam … lalu beliau menyebutkannya

Risydin bin Sa'ad dikritik oleh para ulama dengan kritikan yang sangat keras sehingga Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Talkhish memberikan kesimpulan tegas berdasarkan kritikan ulama tersebut bahwa Risydin ini adalah matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).



Riwayat Al-Baihaqy yang disebutkan oleh pengarang (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berada dalam kitab As-Sunan Al-Kubra 1/259-260 dari jalan Athiyah bin Baqiyah bin Al-Walid dari ayahnya dari Tsaur bin Yazid dari Rasyid bin Sa'ad dari Abu Umamah Al-Bahily….

Dan cacat pada riwayat Al-Baihaqy ini adalah Baqiyah bin Al-Walid, dimana beliau meriwayatkan hadits dengan menggunakan kata "'an" yang bermakna "dari" pada riwayatnya dari gurunya dan riwayat gurunya dari guru gurunya sehingga hal tersebut tidak diterima menurut kaidah Ahli Hadits karena Baqiyah dikenal sebagai seorang rawi yang sering melakukan Tadlis (menyamar-nyamarkan riwayat) dan tadlis-nya termasuk tingkat tadlis yang sangat berbahaya yang disebut dengan nama tadlis taswiyah sehingga sama sekali tidak diterima darinya penggunaan kalimat "'an" pada dua tempat ; pada riwayatnya dari gurunya dan riwayat gurunya dari guru gurunya.

Dan Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dho'ifah no. 2644 khawatir bahwa Baqiyah ini telah mengambil hadits tersebut dari rawi yang lemah dan mentadlisnya. Ada indikasi akan hal tersebut yaitu bahwa Imam Ibnu 'Ady dalam Al-Kamil 2/389 dan Al-Baihaqy 1/260 meriwayatkan hadits tersebut dari jalan Hafs bin 'Umar dari Tsaur bin Yazid dari Rasyid bin Sa'ad dari Abu Umamah Al-Bahily….

Dan Hafs bin Umar yang tertera dalam sanad itu, dikomentari oleh Ibnu Ma'in dengan perkataannya "Dia adalah seorang lelaki yang jelek". Berkata Abu Dawud : laisa bi syaiin (tidak dianggap sama sekali). Berkata Ad-Daruquthny : "Matruk (ditinggalkan haditsnya)". Bahkan Abu Hatim dan selainnya menganggapnya sebagai pendusta.

Maka dikhawatirkan Baqiyah mengambil riwayatnya dari Hafsh bin 'Umar ini. Wallahu A'lam.



Setelah Al-Baihaqy menyebutkan dua jalan diatas, beliau berkata : "Dan diriwayatkan oleh 'Isa bin Yunus dari Al-Ahwash bin Al-Hakim dari Rasyid bin Sa'ad dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam secara mursal[1]. Dan diriwayatkan oleh Abu Usamah dari Abu 'Aun dan Rasyid bin Sa'ad dari ucapan mereka berdua[2]. Dan hadits (ini) tidaklah kuat…".

Berkata Ad-Daruquthny : "Yang benarnya ia adalah dari perkataaan Rasyid bin Sa'ad".

Dan berkata Abu Hatim : "Risydin bin Sa'ad menyambung hadits ini, ia berkata dari Abu Umamah, dan Risydin bukanlah rawi yang kuat, dan yang benarnya (hadits ini) adalah mursal".



Hadits ini mempunyai jalan lain dari Tsauban diriwayatkan oleh Ad-Daruquthny 1/28 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.13 dari Risydin Bin Sa'ad dari Muawiyah bin Sholeh dari Rasyid binSa'ad dari Tsauban ia berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



الْمَاءُ طَهُوْرٌ إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ أَوْ عَلَى طَعْمِهِ

"Air adalah thohur kecuali apa yang mendominasi baunya atau rasanya".



Dan di dalam sanadnya juga ada Risydin bin Sa'ad yang telah berlalu pembahasan tentangnya. Dan nampak dari sini kegoncangan Risydin bin Sa'ad dalam periwayatan dan kelemahannya.



Kesimpulan

Sebagai Kesimpulan, hadits Abu Umamah diatas dengan seluruh konteksnya yang mengandung makna pengecualian terhadap terhadap hadits Abu Sa'id adalah lemah pada seluruh jalannya karena tiga cacat yang terdapat padanya ; kelemahan pada rawinya, yang benarnya adalah mursal dan ada kegoncangan dalam riwayatnya. Wallahu A'lam.

Berkata Imam Asy-Syafi'iy dalam Mukhtalaful Hadits hal.74 : "(Hadits Abu Umamah,-pent.) Diriwayatkan dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari sisi (jalan) yang tidak dikuatkan oleh ahlul hadits yang semisal dengannya…"

Dan berkata Ad-Daruquthny : "Haditsnya tidaklah tsabit (kuat/shahih)".

Dan berkata Ibnul Jauzy : "Haditsnya tidaklah shohih".
Dan berkata An-Nawawy dalam Al-Majmu' 1/160 : "(Hadits) lemah, tidaklah benar untuk dipakai berhujah… dan (para ulama) sepakat akan lemahnya (hadits tersebut)… dan kelemahan tersebut pada akhirnya, yaitu pada (tambahan) pengecualian".

[1] Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq 1/80, Ad-Daruquthny 1/29 dan At-Thohawy 1/16.



[2] Dikeluarkan oleh Ad-Daruquthny 1/29.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar