Sabtu, 31 Januari 2009

Syarah Riyadhus Shalihin (Bab I)

Syarah Riyadhus Shalihin (Bab I)
Jum'at, 23-Desember-2005, Penulis: Syaikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin ( Diterjemahkan oleh Al Ustadz Muh. Ar Rifa'i)

1. BAB IKHLAS DAN MENGHADIRKAN NIAT DI SELURUH AMALAN DAN PERKATAAN YANG NAMPAK MAUPUN YANG TERSEMBUNYI

Allah Ta’la berfirman :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus*, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al Bayyinah : 5)

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridha an) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. ..( Al Hajj : 37)

Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah Mengetahuinya. Dan Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 29 ).


(SYARAH ………………….As Syaikh Muhammad Bin Sholih Al Utsaimin)

Niat tempatnya adalah di hati, maka tidak boleh melafadzkannya dengan lesan pada seluruh amalan. Untuk itu siapa saja melafadzkan niat ketika hendak ingin sholat atau puasa, haji, wudhu’ atau yang lainnya maka berarti dia telah membikin amalan baru yang tidak ada asalnya dari agama Allah.
Karena Nabi selalu berwudhu’ sholat, bershodaqoh, puasa dan amalan yang lainnya dan Beliau tidak melafadzkan niat, hal tersebut dikarenakan tempatnya niat adalah di hati. Sementara Allah Maha mengetahui apa yang ada di hati dan tidak ada sedikitpun yang tersembunyi bagi-Nya. Sebagaimana ayat yang dibawakan oleh imam An Nawawi yaitu
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah Mengetahuinya. Dan Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran : 29 ).
Wajib bagi manusia untuk mengikhlaskan niatnya hanya karena Allah dalam seluruh ibadahnya. Dan jangan meniatkannya kecuali karena wajah Allah dan mengharap negeri akherat.
Demikianlah yang Allah perintahkan dalam firmannya :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus*, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al Bayyinah : 5)
(*) Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Dan sudah semestinya bagi manusia untuk senantiasa menghadirkan niat pada seluruh amalannya. (dengan tetap menempatkannya dalam hati. pent)
Misalnya dia berniat hendak berwudhu maka ia niat berwudhu karena Allah dan ia berwudhu’ karena menjalankan (sesuai) perintah Allah. Maka hal ini meliputi 3 perkara :
1. Niat suatu ibadah (misalnya wudhu. Red )
2. Niatnya karena Allah
3. Niat menjalankannya karena (sesuai) perintah Allah

Inilah keadaan yang sempurna berkaitan dengan niat, begitu juga ketika hendak sholat dan amalan-amalan yang lainnya.
Al Imam An Nawawi menyebutkan beberapa ayat yang kesemuanya menunjukkan bahwa niat tepatnya adalah di hati dan Allah maha mengetahui niat setiap hamba-Nya. Bisa saja dia beramal suatu amalan yang nampak dihadapan manusia sebagai amalan yang sholih padahal amalan tersebut ternyata rusak dikarenakan dirusak oleh niatnya, sebab Allah maha tahu apa yang ada dalam hati.
Seorang manusia tidaklah diberi balasan nanti di hari qiamat kecuali berdasarkan apa yang ada dalam hatinya berdasarkan firman Allah :
Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari dinampakkan segala rahasia*, Maka sekali-kali manusia tidak memiliki satu kekuatanpun dan tidak (pula) seorang penolong. ( QS. At Thariq : 8 –10 )

(*) Yaitu dihari yang akan dikabarkan seluruh isi hati manusia.
Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada” ( QS. Al ‘adiyat : 9 –10 )

Maka di akherat, pahala dan siksa dan adanya penilaian berdasarkan apa yang dihati. Adapun didunia maka penilaian itu berdasarkan yang dhohir (nampak) maka bermuamalah dengan manusia dengan dasar dhohir keadaan mereka. Akan tetapi dhohir yang nampak ini jika sesuai dengan apa yang ada pada bathinnya maka menjadi baiklah yang dhohir dan yang batin tersebut, yang tersembunyi maupun yang terangan-terangan. Namun jika menyelisihi sehingga hatinya menjadi persembunyian atas niat yang rusak maka betapa besar kerugian yang akan ditanggungnya. Dia beramal hingga capek sementara tidak ada hasil dan bagian yang diperolehnya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits shohih dari Nabi bersabda (Hadits Qudsi):
قال الله تعالى : أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته و شركه تخريج السيوطي: (م هـ) عن أبي هريرة. تحقيق الألباني : (صحيح) انظر حديث رقم: 4313 في صحيح الجامع.‌

“Sesungguhnya Allah berfirman : aku tidak butuh adanya sekutu-sekutu maka barang siapa yang beramal suatu amalan yang dia menyekutukan aku dengan yang selainku maka aku akan tinggalkan dia dan sekutunya.” ( HR. Muslim dari Hadits Abu Hurairah. )

Maka demi Allah wahai saudaraku tetapilah ikhlas karena Allah.
Ketahuilah syaithon senantiasa mendatangimu ketika engkau ingin beramal kebaikan dengan berkata : sesungguhnya kamu beramal ini tidak lain karena ria !! Kemudian dengan sebab bisikan tersebut, kamu hilangkan keinginanmu untuk beramal.
Yang benar hendaknya kamu tidak usah memperdulikan bisikan itu dan jangan kamu ikuti syaithon tersebut maka tetaplah beramal karena kalau engkau ditanya apakah kamu sekarang beramal ini karena ria atau sum’ah ? jawablah : bukan. Jadi itu tadi adalah was-was yang disusupkan oleh syaithon didalam hati kamu maka jangan kamu pedulikan.

Etika Syar'i Bari Perempuan dalam Menuntut Ilmu

Etika Syar'i Bari Perempuan dalam Menuntut Ilmu

Sunday, 14.12.2008, 04:16pm (GMT+8)

Tidaklah diragukan bahwa perempuan sederajat dengan lelaki dalam hal kewajiban menjalankan perintah agama. Dimana kewajiban menjalankan perintah itu mencakup seluruh perintah agama seperti memurnikan tauhid, sholat, zakat, haji, puasa…dan lain sebagainya.

Dan telah dimaklumi oleh setiap muslim dan muslimah bahwa perintah-perintah agama itu memiliki syarat-syarat, rukun-rukun dan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi sebagai keabsahan sebuah ibadah atau memenuhi kesempurnaannya. Dan tiada jalan untuk memahami dan menjalankan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunannya yang benar kecuali dengan cara menuntut ilmu agama.

Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”[1]

Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.”[2]

Dan tercatat indah dalam sejarah, bagaimana semangat para shahabiyâat radhiyallâhu ‘anhunnâ dalam menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problemetika yang tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam jiwa-jiwa mereka yang terpuji. ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ berkata,

نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ

“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshor. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.”[3]

Dan masih banyak dalil yang menunjukkan kewajiban seorang perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan seluruh dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban dan keutamaan menuntut ilmu juga termasuk dalil akan wajibnya perempuan menuntut ilmu, karena perintah pada dalil-dalil itu adalah umum mencakup seluruh umat; laki-laki maupun perempuan.



Ketentuan Bolehnya Perempuan Keluar Untuk Menuntut Ilmu

Menetapnya perempuan di rumah adalah suatu hal yang wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” [Al-Ahzâab :33]



Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian menahan kaum perempuan kalian dari mesjid-mesjid. Dan rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.”[4]



Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ

“Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untuk keperluan kalian.”[5]



Dalil-dalil di atas merupakan penjelasan bahwa hukum asal bagi perempuan adalah untuk menetap di rumahnya dan tidak boleh keluar darinya kecuali untuk hal yang darurat atau keperluan yang dibenarkan oleh syari’at.



Dan tentunya keluar untuk menuntut ilmu adalah salah satu keperluan yang diizinkan oleh syariat, apalagi jika yang dituntutnya adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya.



Banyak dalil yang menunjukkkan akan hal tersebut. Diantaranya :

Hadits Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ, beliau berkata,

جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ الْمَاءَ

“Ummi sulaim mendatangi Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidaklah malu dari kebenaran, apakah ada kewajiban mandi bagi perempuan bila ia mimpi basah? Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menjawab, Iya, bila melihat air.” [6]



Hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, dimana beliau berkata,

جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي

“Fatimah bintu Abi Hubaisy mendatangi Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam lalu berkata, Wahai Rasulullah, saya adalah perempuan yang istihâdhah, tidaklah saya suci, apakah saya (harus) meninggalkan sholat? Maka beliau menjawab, Tidak. Seusungguhnya itu hanyalah sekedar urat dan bukan haidh. Apabila haidhmu telah tiba maka tinggalkanlah sholat dan apabila (haidhmu) telah berlalu maka cucilah darah darimu kemudian sholatlah.”[7]



Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata,

قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ

“Para perempuan berkata kepada Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, kaum lelaki telah mengalahkan kami terhadapmu. Jadikanlah dari dirimu suatu hari (khusus) untuk kami. Maka (beliau) menjanjikan kepada mereka suatu hari yang beliau menemui mereka padanya. Lalu (beliau) menasehati mereka dan memberikan perintah kepada mereka.” [8]



Demikian beberapa dalil yang menunjukkan bolehnya seorang perempuan untuk keluar dalam rangka menuntut ilmu agama.



Namun harus diketahui bahwa bolehnya perempuan keluar untuk menuntut ilmu adalah dengan beberapa ketentuan dan etika. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhi dari pihak mahramnya siapa yang mengajarkan ilmu kepadanya.

Jika telah terpenuhi dari mahramnya –baik itu ayah, saudara, suami, anak dan yang semisalnya- siapa yang mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, maka menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.

Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan. Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan bagaimana cara menunaikan keawajiban-kewajiban tersebut, maka hal itu telah mencukupinya. Bila tidak, maka dia bertanya dan belajar.”[9]

Dan termasuk catatan penting yang harus diingat bahwa hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu tergantung jenis ilmu yang dia akan pelajari. Karena ilmu itu, ada yang sifatnya wajib ‘ain untuk dipelajari, dimana seorang muslimah kapan tidak mengetahuinya maka dia dianggap berdosa dan menelantarkan kewajibannya. Dan ada juga ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, dimana kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lainnya dalam mempelajarinya.

Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang muslimah untuk mempelajari bagaimana cara memurnikan ibadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Maka sangat wajar bila memperlajari dan meyakini tauhid Rubûbiyah Allah, Ulûhiyah dan Al-Asmâ’ wash Sifât-Nya bersih dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokoknya.

Seorang muslimah juga wajib untuk memahami hukum-hukum seputar thahârah -tata cara berwudhu, mandi haidh dan janâbah, tayyammum, ahkâm haidh, istihâdhah dan nifâs-. Sebagaimana dia juga wajib mendalami tuntunan sholat, zakat, haji dan puasa yang benar.

Juga wajib terhadapnya untuk mempelajari hukum Ihdâd, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar dari rumah dan lain-lainnya.

Yang jelas, setiap perkara yang mesti dilakukan oleh seorang muslimah dalam menegakkan peribadatan kepada Rabb-nya maka meruapakan suatu kewajiban untuk mempelajari dan memdalaminya. Tentunya tingkat kewajibannya berjenjang sesuai dengan jenis ibadah wajib yang mesti dia laksanakan.



2. Ada keperluan yang mendesak untuk keluar.

Seperti bila seorang muslimah telah mengalami sebuah problemetika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i, sedangkan tidak ada dari mahramnya yang bisa menjelaskannya atau mempertanyakannya kepada seorang alim yang terpercaya.

Dan di masa ini, kita sepatutnya senantiasa bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada kita sehingga dengan sangat mudah untuk mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ilmi dalam jangka waktu yang singkat. Baik itu melalui media komunikasi, surat dan lain-lainnya.

Tentunya keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah lalu.



3. Bertanya kepada orang yang tepat.

Bila terdapat dari kalangan perempuan orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepadanya, maka tiada pilihan untuk bertanya kepada kaum lelaki. Dan demikian pula dari orang-orang yang berilmu dia memilih orang yang paling alim di antara mereka.



4. Terbatas pada keperluan.

Dalam posisi seorang muslimah bertanya lansung kapada seorang alim. Bila sang alim telah menjawab atau telah menjelaskan apa yang dia butuhkan, maka tidak boleh dia memperbanyak pembicaraan dengannya yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah karenanya. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [Al-Ahzâb :32]



5. Tidak boleh bercampur baur (ikhtilâth) dengan guru atau murid-murid lelaki yang ada di majelis.

Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, dimana beliau mendengar Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-kali seorang lelaki sersendirian dengan perempuan kecuali ada mahram bersamanya.”[10]

Dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ

“Hati-hati kalian dari menjumpai perempuan.”

Maka seorang lelaki dari Al-Anshôr berkata, “Bagaimana pendapatmu dengan Al-Hamuw[11]?” Beliau menjawab,

الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Al-Hamuw adalah maut.” [12]



6. Tidak melihat kepada laki-laki yang bukan mahramnya dan bertanya dari belakang hijab.

Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” [Al-Ahzâb :53]



Dan dalam firman-Nya,

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” [An-Nûr :31]



Demikianlah beberapa etika dan adab dalam menuntut ilmu. Dan tentunya seorang perempuan muslimah ketika keluar dari rumahnya –dalam menuntut ilmu maupun selainnya- ada beberapa etika dan adab yang telah dimaklumi. Seperti berhijab dengan hijab yang syar’i, sebagaimana dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” [An-Nûr :31]



Dan tidak boleh dia menampakkan keindahannya, sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” [Al-Ahzâab :33]



Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Dua golongan dari penduduk Neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya : Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk sorga dan tidak (pula) menhirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini.” [13]



Dan tidak boleh keluar dari rumah dengan memakai wangi-wangian, sebagaimana dalam hadits Abu Musâ Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

“Siapa saja dari kalangan perempuan yang memakai wangi-wangian lalu ia melewati suatu kaum sehingga mereka mencium baunya maka ia adalah seorang pezina.” [14]



Beberapa Akhlak Terpuji Bagi Seorang Penuntu Ilmu



Seorang penuntut ilmu hendaknya berhias dengan mahligai ketakwaan dalam zhohir dan bathinnya dan mengikhlaskan niatnya karena Allah. Makna ikhlas yaitu engkau meniatkan upaya dan usahamu dalam menuntut ilmu untuk mengangkat kejahilan dari dirimu dan untuk memurnikan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah akan memberikan ilmu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Baqarah :282]



Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Setiap amalan sesuai dengan niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”



Berkata Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullâh, “Siapa yang menuntut suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kepada apa yang mencukupinya.”[15]

Dan berkata Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh, ”Siapa yang menuntut suatu ilmu ini, lalu ia menghendaki apa yang ada disisi Allah ia akan mendapatkannya -insyaAllah-. Dan siapa yang menghendaki dunia karenanya, maka -demi Allah- itulah bagiannya dari ilmu itu.”[16]



Dan hendaknya engkau memakmurkan zhohir dan bathinmu dengan rasa takut kepada Allah dan terus menerus merenungi kekuasaan dan kebesaran Allah. Ketahuilah bahwa ilmu itu bukan sekedar pengetahuan tanpa ada khasy-yah (rasa takut) kepada Allah.

Berkata Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak periwayatan, tapi ilmu itu adalah Al-Khasy-yah.”[17]

Bahkan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fâthir : 28]



Dan bersemangatlah kalian para penuntut ilmu untuk beramal dengan ilmu yang telah engkau pelajari, sebab ilmu itu dipelajari untuk diamalkan. Dan dengan mengamalkan ilmu itu engkau akan mendapat tambahan anugrah ilmu dan berbagai keutamaan serta kebaikan. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan dalam firman-Nya,

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” [An-Nisâ` :66-68]



Dan komitmenlah dalam menegakkan ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang disunnahkan sebab itu adalah salah satu sifat seorang yang faqih (paham agama). Berkata Al-Hasan Al-Bashry rahimahullâh, “Seorang yang faqih adalah orang yang zuhud pada dunia, mendalam ilmu agamanya dan terus menerus di atas ibadah kepada Rabb-nya.”[18]



Dan peliharahlah segala perintah dan ketentuan Allah pada dirimu dan jangan engkau menelantarannya. Ingatlah selalu wejangan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ,

احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

“Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati Allah di hadapanmu.” [19]



Dan berhati-hatilah –wahai saudari penuntut ilmu- dari sifat hasad, sebab itu adalah penyakit yang telah banyak menghambat jalan para penuntut ilmu. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya,

“Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” [An-Nisâ` :54]

Dan obatilah penyakit itu dengan selalu mengingat firman-Nya,

“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat.” [Az-Zukhruf :32]



Dan berwasadalah dari sikap bangga terhadap ilmu yang engkau dapatkan dan hindarkan dirimu dari sikap congkak. Allah telah mengingatkan,

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqmân :18]

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam telah bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

“Tidak akan masuk sorga siapa yang terdapat sebesar dzarrah dari sikap sombong dalam hatinya.” [20]



Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala jalan dalam menuntut ilmu dan membukakan untuk kita semua pintu-pintu kebaikan dan rahmat. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.@

[1] Hadits hasan diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Takhrîj Musykilatul Faqr hal 80 dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil –sebagaimana yang kami dengar dari beliau-. Dan As-Suyuthi mempunyai risalah tersendiri dalam mengumpulkan jalan-jalan periwayatan hadits ini.

[2] Ahkâm An-Nisâ` karya Ibnul Jauzy hal. 7

[3] Dikeluarkan oleh Muslim no. 500, Abu Dâud no. 270 dan Ibnu Mâjah no. 634.

[4] Dikeluarkan oleh Ahmad 2/76, 76-77, Abu Dâud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1684, Al-Hâkim 1/259 dan Al-Baihaqy 3/131 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dari seluruh jalannya dalam Irwâ`ul Gholîl 2/294 dan dalam Ats-Tsamar Al-Mustathôb 2/730.

[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim no. 2170.

[6] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim no. 313, At-Tirmidzy no. 122, An-Nasâ`i 1/114-115 dan Ibnu Mâjah no. 600.

[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasâ`i dan Ibnu Mâjah.

[8] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam As-Sunan Al-Kubrô.

[9] Ahkâm An-Nisâ` karya Ibnul Jauzy hal. 7

[10] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim dan An-Nasâ`i dalam ‘Usyratun Nisâ` no. 334.

[11] Yang dimaksud dengan Al-Hamuw di sini adalah kerabat suami seperti saudara, anak saudara, paman, anak paman dan yang semisalnya. Demikian keterangan An-Nawawy dalam Al-Minhâj 7/161-162 (cet. Dâr Alam Al-Kutub)

[12] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy dan An-Nasâ`iy dalam ‘Usyratun Nisâ` no. 334.

[13] Dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu.

[14] Dikeluarkan oleh Ahmad 4/414, Abu Dâud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786 dan An-Nasâ`i dengan sanad yang shohih.

[15] Dikeluarkan oleh Ad-Dârimi no. 265 dengan sanad yang shohih.

[16] Dikeluarkan oleh Ad Dârimy no 254 dengan sanad yang shohih.

[17] Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jâmi’ Bayân Al-Ilmi wa Fadhlih 2/25 dengan sanad yang shohih.

[18] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 2/147 dengan sanad yang hasan.

[19] Dikeluarkan oleh Ahmad 1/293 dan At-Tirmidzy no. 2016 dengan sanad yang hasan.

[20] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dâud, At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

Pembagian Orang Kafir dalam Islam

Pembagian Orang Kafir dalam Islam

Monday, 22.09.2008, 05:48am (GMT+8)

Melihat berbagai peristiwa teror yang terjadi di berbagai negara, apalagi hal tersebut dituduhkan identik dengan syari’at yang mulia nan suci, melihat banyaknya kebingungan di kalangan kaum muslimin akibat syubhat (kerancuan) dan racun yang disusupkan oleh musuh-musuh Islam tentang terorisme dan melihat salah “terjemah” terhadap kalimat terorisme dan salah menempatkannya. Maka kami mengangkat fatwa-fatwa para ulama besar yang merupakan lentera di tengah gulita dan kelompok yang terus-menerus menampakkan kebenaran di setiap zaman sebagaimana dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah shollallahu 'alaihi wa alihi wa sallam bersabda :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.

Tulisan ini juga sebagai penjelasan hakikat syari’at Islam yang mulia dan agung.

Dan tulisan ini juga sebagai bantahan terhadap orang-orang yang penuh dengan nista pemikiran sesat dan bergelimang dengan lumpur penyimpangan yang menodai nama Islam dengan ulah terorismenya.

Dan sebagai bantahan terhadap orang-orang jahil dan bodoh yang menampilkan dirinya sebagai ahli fatwa yang berani mengucapkan statement yang mengidentikkan Islam dengan terorisme.

Dan yang lebih aneh lagi ucapan kotor ini keluar dari orang yang mengaku dirinya Ahlus Sunnah. Simak kalimatnya yang menyanjung pelaku peledakan gedung WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 : “Serangan berani penuh kepahlawanan dari para pemuda yang kecewa dengan kecongkakan Amerika Serikat” dan simak ucapannya yang lain “Kalau ditanya kepada kami :Bagaimana serangan terhadap Amerika itu, maka kami mengatakan bahwa cara itu tidak benar menurut pandangan syari’at. Kemungkinan besar memang Usamah berada di belakang penyerangan terhadap WTC dan Pentagon. Walaupun cara bunuh diri itu salah, bagi kami sasarannya benar. Kami memberi “applaus” kepada sasaran seperti itu”.

Kami angkat tulisan ini dengan harapan mengembalikan kaum muslimin kepada agama yang lurus dan mengangkat derajat mereka di dunia dan di akhirat. Amin.

Pembagian Orang Kafir dalam Islam

Orang kafir dalam syari’at Islam ada empat macam :

Pertama : Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka.

Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah : 29).

Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ

“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”.

Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata :

أَمَرَنَا رَسُوْلُ رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُقَاتِلَكُمْ حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا الْجِزْيَةَ

“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.

Kedua : Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.



Allah Jalla Dzikruhu berfirman :



فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).



Dan Allah berfirman :



إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 4).



dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya :



وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِيْ دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah : 12).



Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr riwayat Bukhary :



مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.



Ketiga : Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.



Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :



وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).



Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan :



ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HSR. Bukhary-Muslim).



Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya".



Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata :



يَا رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda : “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.



Keempat : Kafir Harby, yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.



Demikianlah pembagian orang kafir oleh para ulama seperti syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy, syeikh Ibnu ‘Utsaimin, ‘Abdullah Al-Bassam dan lain-lainnya. Dan bagi yang menelaah buku-buku fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya pembagian ini. Wallahul Musta’an.
Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Jumat, 30 Januari 2009

KENAPA PARA ‘ULAMA AHLUS SUNNAH JUSTRU TIDAK BERFATWA TERHADAP BEBERAPA PERISTIWA / PROBLEM BESAR YANG BERKAITAN DENGAN UMAT SECARA UMUM?

Fatwa : Kenapa Ulama Mendiamkan Musibah yang Menimpa Muslimin ?
Dikirim oleh webmaster, Sabtu 24 Januari 2009, kategori Fatwa-Fatwa
Penulis: Redaksi Assalafy.org
.: :.
KENAPA PARA ‘ULAMA AHLUS SUNNAH JUSTRU TIDAK BERFATWA TERHADAP BEBERAPA PERISTIWA / PROBLEM BESAR YANG BERKAITAN DENGAN UMAT SECARA UMUM?

Fatwa Al-’Allâmah Asy-Syaikh Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân hafizhahullâh

Pertanyaan : Sebagian penuntut ilmu terkadang berani mencela para ‘ulama karena mereka (para ‘ulama tersebut) diam/tidak berfatwa ketika terjadi beberapa peristiwa besar atau ketika terjadi beberapa musibah besar. Bagaimana penjelasan engkau wahai Fadhilatusy Syaikh?

Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Fauzan menjawab :

Terkadang sikap diam (tidak berfatwa) itu merupakan mashlahah (bersifat positif), namun terkadang berfatwa itulah yang justru mashlahah. Karena para ‘ulama itu sangat mempertimbangkan adanya mashalahah dan berupaya mencegah timbulnya mafasid (efek negatif). Para ‘ulama tersebut tidak akan berfatwa kecuali apabila memang fatwa tersebut mengandung faidah dan manfaat, sebaliknya mereka tidak akan diam kecuali apabila memang diam (tidak berfatwa) lebih utama. Maka para ‘ulama dengan makna yang hakiki, tidaklah mereka diam (tidak berfatwa) kecuali apabila memang sikap diam tersebut itulah yang tepat, dan tidaklah mereka berfatwa kecuali apabila memang berfatwa itu adalah sikap yang lebih tepat.

Apabila terjadi berbagai peristiwa besar, maka tidak boleh bagi setiap orang untuk ikut berbicara/berkomentar dalam masalah tersebut, namun harus diserahkan/dikembalikan kepada para ‘ulama, yang berpikir jernih, dan ahlul bashirah (berilmu luas). Sebagaimana firman Allah :

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ [النساء/83]

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (para ‘ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri).” [An-Nisa` : 83]

Maka permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin (secara umum) dan berkaitan dengan umat ini tidaklah ditangani kecuali oleh ahlul hal wal ‘aqdi (para ‘ulama yang memiliki kemampuan untuk menjawab dan menyelesaikan problem), yaitu para ‘ulama dan ahlul bashirah, yang berupaya mencari penyelesaian yang tepat untuk berbagai problem tersebut. Adapun kalau ditangani oleh setiap orang, dan setiap orang ikut berkomentar, maka ini akan merugikan kaum muslimin, sekaligus sebagai bentuk upaya menimbulkan kegoncangan dan ketakutan (terhadap kaum muslimin), ditambah kaum muslimin tidak akan meraih hasil apapun di balik sikap seperti itu.

Bisa jadi, berbagai problem yang terjadi tersebut tergolong jenis problem yang (jawaban/penyelesaiannya) bersifat rahasia, yang harus diselesaikan secara rahasia pula, bukan secara terbuka di hadapan umat. Namun diselesaikan secara rahasia dan cara-cara yang tepat. Maka berbagai permasalahan tersebut perlu dipikirkan secara tenang (tidak tergesa-gesa) dan pikiran yang jernih.

Maka sikap yang wajib atas kaum muslimin secara umum adalah mengembalikan (jawaban dan penyelesaian atas) berbagai problem dan permasalahan (umat) tersebut kepada para ‘ulama dan orang-orang yang memiliki cara berpikir yang tepat serta ilmu yang luas tentang permasalahan tersebut.

Sumber : http://www.sahab.net/forums/showthread.php

Suara bisa didownload pada : http://www.salafishare.com/arabic/24LRYSKG39NB/7HOLZCE.mp3

Transkrip

لماذا يسكت بعض العلماء في بعض النوازل ؟

العلامة صالح بن الفوزان الفوزان - حفظه الله تعالى -

السؤال : نسمع بعض طلبة العلم أحيانا يطعنون في العلماء بحجة أنهم يسكتون عند حصول بعض الحوادث أو عند حلول بعض النوازل!!! فما هو تعليقكم يا فضيلة الشيخ ؟

جواب العلامة الفوزان - حفظه الله تعالى - :

أحيانا يكون السكوت هو المصلحة وأحيانا يكون الكلام هو المصلحة، فالعلماء يراعون المصالح ودرء المفاسد، ولا يتكلمون إلا حيث يفيد الكلام ينفع ولا يسكتون إلا حيث يكون السكوت أولى. فالعلماء بالمعنى الصحيح لا يسكتون إلا إذا كان السكوت له مجال ولا يتكلمون إلا إذا كان الكلام له مجال. والأمور إذا حدثت لا يصلح لكل واحد أن يتكلم فيها وإنما توكل لأهل العلم وأهل الرأي وأهل الكلمة، كما قال جل وعلا ﮋ وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ﮊ النساء: ٨٣

فالأمور التي تتعلق بمصالح المسلمين وبالأمة هذه لا يتولاها إلا أهل الحل والعقد، أهل العلم والبصيرة، الذين يلتمسون لها الحلول الصحيحة، وأما أن يتولاها ويتكلم فيها كل ما هب ودب فهذا من الضرر على المسلمين ومن الإرجاف والتخويف، ولا يصل المسلمون من وراء ذلك إلى نتيجة. وهذه أيضا أمور قد تكون أمورا سرية، تعالج بالسرية ولا تعالج علانية أمام الناس، وإنما تعالج مع السرية ومع الطرق الصحيحة، فالأمور تحتاج إلى روية وإلى تعقل.

والواجب على العامة أن يرجعوا إلى أهل العلم وأهل الرأي والبصيرة في هذه الأمور.

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=303. Judul asli "Sebab diamnya ‘ulama atas peristiwa yg menimpa kaum muslimin".)

http://www.salafy.or.id/modules/artikel2/artikel.php?id=1390

Selasa, 27 Januari 2009

Ringkasan Tata Cara Shalat Gerhana

Ringkasan Tata Cara Shalat Gerhana

Insya Allah ta’ala dalam waktu dekat akan terjadi gerhana bulan total. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini adalah tata cara shalat gerhana yang kami rangkum dari Mulakhas Fiqhi karya Syaikh Shalih bin Fauzan. Karena keterbatasan waktu, insya Allah terjemahan bab secara lengkap baru akan kami tampilkan di kemudian hari, biidznillah.

- Hukum Shalat Gerhana
Hukumnya adalah sunnah muakkadah menurut kesepakatan ulama, berdasarkan dalil sunnah yang tsabit dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

- Waktu Shalat Gerhana
Yaitu sejak dimulainya gerhana sampai berakhirnya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Maka apabila engkau melihatnya -yaitu gerhana tersebut- maka shalatlah” (Muttafaqun alaihi)

Tidak disyariatkan shalat gerhana setelah gerhana itu selesai. Jika gerhana berakhir sebelum dia sempat shalat maka tidaklah disyariatkan shalat baginya.

- Sifat Shalat Gerhana
1. Dia shalat dua rakaat dengan mengeraskan bacaan -menurut pendapat ulama yang benar-
2. Dia membaca surat Al-fatihah dan surat yang panjang seperti surat Al-Baqarah atau yang seukuran
3. Lalu dia ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
4. Setelah itu dia mengangkat kepalanya dari ruku dan membaca
“Sami’ Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
5. Lalu dia kembali membaca Al-Fatihah dan surat panjang yang lebih pendek dari surat pertama, seukuran Ali Imran.
6. Kemudian dia ruku’ dengan waktu ruku’ lebih pendek dari waktu ruku’ pertama.
7. Setelah itu dia angkat kepalanya dari ruku’ dan membaca, “Sami’ Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu, hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiihi, mil’as samaai wa mil’al ardhi. Wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du”
8. Lalu dia sujud dengan dua sujud yang panjang
9. Dia tidak panjangkan duduk di antara dua sujudnya
10. Kemudian dia kerjakan rakaat kedua seperti rakaat pertama dengan dua ruku dan dua sujud yang panjang.
11. Lalu dia bertasyahud, dan
12. Salam

Ini adalah sifat salat gerhana sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang diriwayatkan dari banyak jalan, di antaranya dari dua shahih (Shahih Al-Bukhari dan Muslim, lihat Al-Bukhari no. 1046, dan Muslim 2088)

- Disunnahkan untuk melaksanakannya secara berjamaah sebagaimana yang dilakukan rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Boleh pula dilaksanakan sendiri sebagaimana shalat sunnah lainnya, namun melakukannya secara berjamaah lebih afdhal.

- Disunnahkan pula untuk memberikan nasehat kepada jama’ah setelah shalat, memperingatkan mereka dari berbagai kelalaian dan memerintahkan mereka untuk memperbanyak doa dan istighfar.

- Apabila gerhana masih berlangsung setelah shalat selesai, maka hendaklah berdzikir kepada Allah dan berdoa sampai gerhana berakhir, dan tidak mengulang shalat. (Dan dalam hadits diperintahkan pula untuk bershadaqah -wr1).

- Apabila gerhana selesai dan dia masih shalat hendaknya dia sempurnakan shalatnya dengan khafifah (dipercepat), tidak berhenti shalat begitu saja.

Demikianlah beberapa point yang bias diperoleh dari pembahasan Syaikh Shalih bin Fauzan, Semoga bias bermanfaat.



Sumber: Mulakhas Fiqhi, DR. Shalih bin Fauzan, Darul Ashomah Riyadh.

Silakan dicopy dengan menyertakan URL: www.wiramandiri.wordpress.com.

(http://mumtazanas.wordpress.com/2007/08/28/ringkasan-tata-cara-shalat-gerhana/)
Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah

Oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaal







1. Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" (Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy (1) beliau berkata: "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok (2) Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".(Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733)
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" (Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54))
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir” (Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya)
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" (Furu' fajar : awalnya, permulaan).
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). (Tadribur Rawi 1/262)
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif (Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181)
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.(3)

Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3]Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar

Sahur dalam Puasa di Bulan Ramadhan
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly

1. Hikmah Sahur
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" (Qs. Al Baqarah: 183).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.
Dari Amr bin 'Ash Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur" (Hadits Riwayat Muslim 1096)
2. Keutamaannya
a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama'ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur" (Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata : "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya, red). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat, red)dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya hasan)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran" (Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya)
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: Aku masuk menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda: "Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan" (Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih).
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.
Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda Radhiyallahu 'anhuma: "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur". (Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih).
b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar mema'afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur" (Telah lewat takhrijnya).
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma" (Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya Shahih).
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air" (Telah lewat Takhrijnya)
3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu.
"Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau shalat" Aku tanyakan (kata Anas), "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an" (Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal): kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan)
Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.
4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya - dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda: "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu" (Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir)
Dan beliau bersabda (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah" (Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas).
Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda: "Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda: "Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur" (Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air" (Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan)
Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.
Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu 'alam.

(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H).


(http://www.ahlussunnah-jakarta.com/buletin_detil.php?id=35)

Sabtu, 17 Januari 2009

Bab Tentang Air-Air (Lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :



6. وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ )) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَلِلْبُخَارِيِّ (( لَا يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الذِّيْ لَا يَجْرِيْ ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيْهِ )) وَلِمُسْلِمٍ (( مِنْهُ )) وَلَأَبِيْ دَاوَدَ (( وَلَا يَغْتَسِلْ فِيْهِ مِنَ الْجَنَابَةِ ))

6. Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang diam sementara ia (dalam keadaan) junub”. Dikeluarkan oleh Muslim. Dan bagi Al-Bukhary “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing dalam air diam yang tidak mengalir kemudian ia mandi padanya”. Dan bagi Muslim “darinya”. Dan bagi Abu Daud “dan janganlah ia mandi padanya dari janabah”.



Takhrijul Hadits



Konteks pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 283, An-Nasa`i 1/124, 175,197, Ibnu Majah 1/198/605, Ibnul Jarud no. 56, Abu ‘Awanah 1/231-232/779, Ibnu Khuzaimah no. 93, Ibnu Hibban 4/62/1252, Ath-Thahawy 1/14, Ad-Daraquthny 1/51, Al-Baihaqy 1/237 dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj 1/337/651 semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Wahb dari ‘Utsman bin Al-Harits dari Bukair bin ‘Abdillah bin ‘Utsman dari Abus Sa`ib Maula Hisyam bin Zahrah dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dan konteksnya secara lengkap adalah sebagai berikut :



لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ فَقَالَ : كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ : يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلًا

“Janganlah salah seorang dari kalian mandi dalam air yang diam dan ia (dalam keadaan) junub”. (Abus Sa`ib) berkata : “Bagaimana yang seharusnya dia lakukan wahai Abu Hurairah?”, (Abu Hurairah) berkata : “Ia mengambil darinya”.”.



Adapun konteks setelahnya, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dalam Shohih-nya no. 239, Ibnu Khuzaimah no. 66 dan Al-Baihaqy 1/238, semuanya dari jalan Abuz Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.



Dan perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar “Dan bagi Muslim “darinya”.” Maksudnya sama dengan riwayat Al-Bukhary sebelumnya tapi akhirnya yang berbeda. Kalau Imam Al-Bukhary dengan lafazh “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing dalam air diam yang tidak mengalir kemudian ia mandi padanya” dan Muslim dengan lafazh “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing dalam air diam yang tidak mengalir kemudian ia mandi darinya”. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya no. 282.



Adapun riwayat yang terakhir, konteks lengkapnya adalah sebagai berikut :



لَا يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَلَا يَغْتَسِلْ فِيْهِ مِنَ الْجَنَابَةِ

“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing dalam air diam dan janganlah ia mandi padanya dari janabah”.



Hadits di atas mempunyai dua jalan :



Jalan pertama : Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/131, Ahmad 2/433, Abu Daud no. 70 -dan lafazh hadits baginya-, Ibnu Hibban -sebagaimana dalam Al-Ihsan- no. 1257, Al-Baihaqy 1/238, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 2/67/285 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 2/41, semuanya dari jalan Muhammad bin ‘Ajlan dari ayahnya (yaitu Ajlan) dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Dalam jalan ini, ‘Ajlan telah diselisihi oleh sejumlah rawi. Mereka adalah :

1. Muhammad bin Sirin.
2. Hammam bin Munabbih.
3. ‘Atho` bin Mina`.
4. Khilas. (Akan datang uraian takhrij riwayat empat rawi ini).
5. Abu ‘Utsman Al-Madany. Riwayatnya dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq 1/89/302, Asy-Syafi’iy sebagaimana dalam Tartib Musnad-nya no. 38, Ahmad 2/294, 464, Al-Humaidy no. 969, An-Nasa`i 1/125, 197, Ibnu Khuzaimah no. 66, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1254, Ath-Thohawy 1/14 dan Al-Hakim 1/168.

Semuanya meriwayatkan dari Abu Hurairah dan mereka tidak menyebut lafazh “dan janganlah ia mandi padanya dari janabah”.

Maka lafazh “dan janganlah ia mandi padanya dari janabah” dalam riwayat Al-‘Ajlan adalah salah dan Syadz. Kuat dugaan saya bahwa kesalahan ini bukan berasal dari ‘Ajlan melainkan dari anaknya Muhammad, dialah yang salah meriwayatkan dari ayahnya. Hal tersebut karena Muhammad ini ada sedikit kekurangan dalam hafalannya yang menyebabkannya hanya tergolong dalam rawi-rawi yang hasan haditsnya. Dan juga kesalahan Muhammad bin ‘Ajlan dalam jalan kedua berikut ini merupakan satu indikasi yang sangat kuat terhadap dugaan saya di atas. Wallahu A’lam.



Jalan kedua : Dari jalan Muhammad bin ‘Ajlan dari Abuz Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Dikeluarkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab Ath-Thuhur no. 161, An-Nasa`i 1/197, Ath-Thahawy 1/15 dan Al-Baihaqy 1/238.

Namun Muhammad bin ‘Ajlan telah diselisihi oleh dua rawi yang sangat kuat dan sangat banyak riwayatnya dari Abuz Zinad. Rawi tersebut adalah :

1. Syu’aib bin Abi Hamzah. Riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 239 dan Al-Baihaqy 1/238.
2. Sufyan bin ‘Uyyainah. Riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 66[1].

Keduanya meriwayatkan dari Abuz Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dengan lafazh “kemudian ia mandi padanya” bukan dengan lafazh “dan janganlah ia mandi padanya dari janabah”. Maka dengan ini riwayat Muhammad bin ‘Ajlan ini adalah Syadz. Wallahu A’lam.



Tambahan



Dalam sebagian riwayat hadits ini ada tambahan lain di akhirnya, konteks lengkapnya adalah sebagai berikut :



لَا يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ

“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing dalam air diam kemudian ia berwudhu` darinya”.



Tambahan dengan lafazh “kemudian ia berwudhu` darinya” diriwayatkan dari beberapa jalan :



Satu : Dari jalan Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Dan ada beberapa orang rawi yang meriwayatkan dari Ibnu Sirin, mereka adalah :

1. Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyany. Riwayatnya dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq 1/89/300, Ahmad 2/265, Ibnul Jarud no. 54, Abu ‘Awanah no. 781 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 1/139.

Namun pada jalan ini ada dua cacat :

I. Yang meriwayatkan dari Ayyub adalah Ma’mar. Dan riwayat Ma’mar dari Ayyub ada kelemahan sebagaimana yang diterangkan kitab-kitab biografi tentang rawi-rawi hadits. Dan akan datang riwayat Ma’mar dari Ayyub dari Hammam dari Abu Hurairah, dan ini tentu lebih memperjelas kelemahan riwayatnya.

II. Ma’mar telah diselisihi oleh Ibnu ‘Uyyainah. Dimana Ibnu ‘Uyyainah meriwayatkan dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dengan lafazh “kemudian ia mandi darinya”. Demikian diriwayatkan oleh Al-Humaidy 2/429/970, An-Nasa`i 1/197, Ibnu Khuzaimah no. 66 dan Al-Baihaqy 1/239 (sebagian mereka meriwayakan secara marfu’ dan sebagiannya secara mauquf).



2. ‘Auf bin Abi Jamilah.

Dikeluarkan oleh Ahmad 2/492, 529, An-Nasa`i 1/49 dan Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 4/60/1251. Dan sanadnya Jayyid.



3. Hisyam bin Hassan.

Husyaim bin Basyir meriwayatkan dari Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah secara mauquf dengan lafazh “kemudian ia berwudhu` darinya”. Demikian dikeluarkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 162.

Dan Ibnu ‘Ulayyah juga meriwayatkannya secara mauquf tapi dengan lafazh “kemudian ia mandi darinya”. Demikian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/131.

Namun riwayat secara mauquf dari Husyaim dan Ibnu ‘Ulayyah ini telah diselisihi oleh sejumlah rawi lain dari Ibnu Sirin, mereka adalah :

I. Za`idah bin Qudamah. Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 69 dan Ad-Darimy 1/202/730.

II. Jarir. Dikeluarkan oleh Muslim no. 282 dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj.

III. Abdullah bin Yazid Al-Muqri`. Dikeluarkan oleh Ahmad 2/362.

IV. Abdullah bin Bakr As-Sahmy. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1/14 dan Abu Ya’la 10/461/6076.

Semuanya meriwayatkan dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafazh “kemudian ia mandi darinya”.



4. Yunus bin ‘Ubaid.

Riwayatnya dikeluarkan oleh Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 162 secara mauquf terhadap Abu Hurairah.



5. Ibnu ‘Aun.

Beliau meriwayatkan dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah bahwa beliau berkata :



نَهَى أَوْ نُهِيَ أَنْ يَبُوْلَ الرَّجُلُ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ أَوِ الرَّاكِدِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْهُ أَوْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ

“(Beliau) melarang atau dilarang seorang lelaki kencing pada air yang diam atau tidak bergerak kemudian ia berwudhu` darinya atau ia mandi darinya”.

Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1/14 dan Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 3/254/3069.



6. Salamah bin ‘Alqomah.

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/131 secara mauquf terhadap Abu Hurairah dengan lafazh “Kemudian ia berthaharah darinya”.



Dua : Dari jalan Ma’mar bin Rasyid dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Demikian dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 282, Ahmad 2/316, Abu ‘Awanah no. 782, Al-Baihaqy 1/224 dan Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 650, semuanya dengan lafazh “kemudian ia mandi darinya”.

Dan dikeluarkan juga oleh ‘Abdurrazzaq 1/89/299, At-Tirmidzy no. 68, Al-Baihaqy 1/234, 239 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 16, semuanya dengan lafazh “kemudian ia berwudhu` darinya”.

Insya Allah dua riwayat di atas semuanya adalah shohih dalam riwayat Ma’mar. Wallahu A’lam.

Adapun riwayat Ahmad 2/265 dan Ibnul Jarud no. 54 dari Ma’mar dari Ayyub dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafazh “kemudian ia berwudhu` darinya” adalah lemah karena lemahnya riwayat Ma’mar dari Ayyub sebagaimana yang telah lalu.



Tiga : Dari jalan Khilas bin ‘Amr dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Dikeluarkan oleh Ahmad 2/259, 492, 529, An-Nasa`i 1/49 dan Al-Khathib dalam Tarikh-nya 10/105. dan Khilas tidak mendengar dari Abu Hurairah.



Empat : Dari jalan Abu Maryam dari Abu Hurairah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

Dikeluarkan oleh Ahmad 2/288, 532 dan Ibnu Abi Syaibah 1/131. Dan sanadnya Jayyid.



Lima : Dari jalan Anas bin ‘Iyadh dari Al-Harits bin ‘Abdurrahman bin Abi Dzibab dari ‘Atho` bin Mina` dari Abu Hurairah secara marfu’ dengan lafazh “kemudian ia berwudhu` darinya atau minum”.

Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 94, Ibnu Hibban 4/67/1256, Ath-Thohawy 1/14 dan Al-Baihaqy 1/239. Dan sanadnya hasan.



Kesimpulan

Jalan-jalan di atas menunjukkan bahwa hadits dengan lafazh “kemudian ia berwudhu` darinya” juga merupakan hadits yang shohih. Wallahu A’lam.

[1] Kemudian saya mendapati Imam Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/15 meriwayatkan dari jalan Asad bin Musa dari Ibnu Lahi’ah dari Al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dengan lafazh “kemudian ia mandi darinya”. Ibnu Lahi’ah walaupun lemah haditsnya numun riwayatnya ini adalah pendukung cukup baik bagi riwayat Syu’aib dan Sufyan. Wallahu A’lam.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi
Bab Tentang Air-Air (Lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Dalil-Dalil Setiap Pendapat



Adapun pendapat pertama, mereka berdalilkan dengan beberapa dalil, diantaranya :



1. Allah Jalla Sya`nuhu menyatakan :



وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“Dan Allah menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu.” (QS. Al-Anfal : 11)



Dan Allah Azhomat Hikmatuhu berfirman :



وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. Al-Furqan : 48)



Allah Al-‘Alim Al-Hakim berfirman :



فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu.” (QS. An-Nisa` : 43, Al-Ma`idah : 6)

Sisi pendalilan : Ayat-ayat di atas dan banyak dalil umum lainnya adalah merupakan nash yang sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa air walaupun kejatuhan najis namun masih berada di atas asal penciptaannya yaitu belum berubah salah satu dari tiga sifatnya maka terhitung suci dan tercakup dalam konteks ayat-ayat di atas, airnya banyak maupun sedikit, lebih dua qullah maupun kurang.



2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :



وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ

“Dan (Dia) menghalalkan bagi mereka segala yang baik”. (QS. Al-A’raf : 157)

Sisi pendalilan : Air yang tidak berubah oleh najis yang jatuh kepadanya masih tetap berada di atas asal penciptaannya maka ia terhitung hal-hal baik yang tercakup dalam konteks ayat. Demikian makna keterangan Ibnul Qoyyim.



3. Hadits no.12 yang akan datang penjelasannya tentang perintah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk menuangkan setimba air menyiram kencing a’raby (orang arab pedalaman) yang kencing di masjid.

Sisi pendalilannya : Tempat kencing a’raby yang sedemikian rupa kembali menjadi suci hanya dengan setimba air, ini menunjukkan bahwa najis yang sedikit tidaklah merusak air yang sedikit. Sehingga bisa ditetapkan bahwa air yang kejatuhan najis tidaklah dianggap najis kecuali bila merubah rasa, warna atau baunya, sedikit maupun banyak.



4. Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya air adalah thohur tidak dinajisi oleh sesuatu apapun”.

Sisi pendalilan : Konteks hadits di atas adalah umum, tidak dibedakan antara air yang sedikit dan air yang banyak sepanjang tidak merubah rasa, warna atau baunya.



5. Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa air tidaklah menjadi najis kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya.



Adapun pendapat kedua, mereka berdalilkan dengan dalil-dalil berikut :



1. Hadits yang tengah kita syarah sekarang yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ , وَفِيْ لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ

“Apabila air dua qullah, maka dia tidak memikul al-khabats (najis)”, dan dalam satu lafazh : “Tidaklah najis”.”

Sisi pendalilan : Mafhumul mukhalafah (pemahan tersirat) dari hadits di atas bahwa kalau jumlah air kurang dari ukuran dua Qullah maka air itu najis secara mutlak bila kejatuhan najis walaupun tidak merubah salah satu dari tiga sifatnya.



Bantahan

Namun pendalilan di atas adalah lemah dari beberapa sisi :



Satu : Dalam hadits Ibnu ‘Umar tidak diterangkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bahwa apabila air kurang dari dua qullah maka dia pasti menjadi najis, bahkan mafhum dari hadits bahwa air yang kurang dari dua qullah bila kejatuhan najis mungkin menjadi najis dan mungkin juga tidak menjadi najis. Kalau begitu tidak pertentangan antara hadits Ibnu ‘Umar tentang dua qullah ini dan hadits Abu Sa’id beserta kesepakatan ulama tentang najis air yang kejatuhan najis bila berubah salah satu dari tiga sifatnya. Ini adalah cara yang wajib dipegang dalam mengkompromikan antara dalil-dalil seputar masalah ini. Demikian makna keterangan Imam Asy-Syaukany dalam As-Sail Al-Jarrar 1/55.



Dua : Andaikata mafhum yang disebut oleh penganut pendapat kedua benar, maka itu juga tidak bisa dipakai karena mafhum tersebut hanya berlaku pada satu bentuk saja, yaitu apabila air kurang dari dua qullah. Dan tentunya mafhum yang seperti ini tidak bisa berlaku secara umum dan juga tidak diberlakukan karena menyelisihi manthuq hadits Abu Sa’id dan lain-lainnya. Menurut kaidah para ulama dalam masalah yang seperti ini, bila manthuq bertentangan dengan mafhum maka manthuq lebih didahulukan. Demikian pula disini manthuq hadits Ibnu ‘Umar dan lain-lainnya lebih didahulukan terhadap mafhum hadits Ibnu ‘Umar tentang dua qullah. Demikian makna keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsiamin. Dan baca juga keterangan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 21/73 dan Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’dy dalam Fatawa Ibnu Sa’dy 1/189.



Tiga : Hadits dua qullah tidaklah menyamai keabsahan dan ketegasan dalil yang telah diuraikan dalam dalil no. 1 dari pendapat pertama. Demikian keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’dy dalam Fatawa Ibnu Sa’dy 1/189.



Empat : Telah berlalu penjelasan tentang tidak pastinya berapa ukuran dua qullah sehingga hadits Ibnu ‘Umar tidak bisa dijadikan sebagai ukuran. Berkata Ibnu Hazm membantah orang yang berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar : “Adapun hadits ‘dua qullah’, tidak ada hujjah bagi mereka sama sekali. Hal tersebut karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menentukan ukuran dua qullah dan tidaklah diragukan bahwa beliau ‘alaihissalam andaikata menjadikan (dua qullah) sebagai penentu antara apa yang menerima najis (apa yang menyebabkan air menjadi najis,-pent) dan yang tidak menerimanya niscaya beliau tidak menganggurkan pembatasannya kepada kita dengan pembatasan yang jelas lagi tidak berbelit-belit…”. Dari Al-Muhalla 1/154 dengan sedikit meringkas.



2. Hadits larangan bagi orang yang terjaga dari tidurnya untuk tidak memasukkan tangannya ke dalam bejana sampai ia mencucinya tiga kali. Akan datang dalam hadits no. 37.



Bantahan

Berkata Ibnul Qoyyim : “Pendalilan dengannya (yaitu dengan hadits ini,-pent.) adalah paling lemah dari ini semua karena tidak ada dalam hadits (ini) hal yang menunjukkan najisnya air (yaitu air bejana bila tercelup oleh tangan orang yang terjaga dari tidurnya) dan jumhur umat (berpendapat) sucinya (air itu) dan pendapat yang mengatakan najisnya adalah (pendapat) syadz (ganjil) yang paling syadz”.



3. Hadits larangan kencing di tempat air yang diam, yang akan datang dalam hadits no. 6.

Sisi pendalilan : Hadits ini menunjukkan air yang sedikit bisa menjadi najis oleh najis yang sedikit.



Bantahan

Pendalilan di atas lemah dari beberapa sisi :



Satu : Larangan kencing pada air yang diam tidaklah menunjukkan bahwa air tersebut seluruhnya menjadi najis walaupun najis hanya jatuh pada sebagian dari air itu.



Dua : ‘Illat (alasan, sebab) pelarangan kencing pada air yang diam bukan karena hal tersebut menjadikan air tersebut menjadi najis bahkan ‘illat pelarangannya adalah karena kencing pada air yang diam bisa menjadi pengantar yang menyebabkan air itu menjadi najis. Sebagaimana yang akan dijelaskan dalam syarah hadits no. 06 yang akan datang.



Tiga : Membedakan antara ukuran dua qullah atau lebih dengan ukuran yang kurang dua qullah dari sisi hukum adalah menyelesihi konteks hadits. Hal tersebut karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak mengkhususkan larangannya pada air yang kurang dari dua qullah saja, bahkan air yang lebih dari dua qullahpun bisa menjadi najis dengan kencing padanya. Buktinya, air yang banyak mungkin akan berubah dan berbau bila manusia terlalu banyak kencing padanya.

Demikian tiga sisi bantahan di atas disimpulkan dari keterangan Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan 1/65.



4. Hadits perintah mencuci bejana tujuh kali dari jilatan anjing dan perintah untuk membuang bekas minumnya. Yang akan datang dihadits no.10

Sisi pendalilan : Ini menunjukkan akan najisnya air bejana bekas jilatan anjing itu dan dalam hadits tidak diterangkan airnya berubah atau tidak.



Bantahan

Namun pendalilan diatas adalah lemah karena sama sekali tidak ada dalam hadits yang menunjukkan bahwa perintah mencuci bejana tersebut kalau airnya kuarang dari dua qullah. Demikian keterangan Ibnul Qayyim.



5. Hadits Wabishoh bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad, Abu Ya’la dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ

"Tanyalah hatimu walau orang-orang memberi fatwa kepadamu".



6. Hadits Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhuma riwayat Ahmad, Ad-Darimy, At-Tirmidzy dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُك

"Tinggalkan apa yang membuat kamu ragu menuju apa yang membuat kamu tidak ragu."



Bantahan

Dua hadits di atas tidaklah menunjukkan perbedaan antara dua qullah dan selainnya. Berkata Imam Asy-Syaukany dalam As-Sail Al-Jarrar 1/56 berkaitan dengan dua hadits di atas : “Tidak ada dalam keduanya kecuali anjuran untuk wara’, tawaqquf pada perkara yang samar dan menjauhi syubhat…”.



Adapun pendapat ketiga, mereka berdalilkan sebagai berikut :



1. Hadits larangan kencing di tempat air yang diam, yang akan datang dalam hadits no. 6.

Sisi pendalilan : Konteks larangan dalam hadits ini adalah umum sehingga mencukup seluruh air, yang banyak maupun sedikit. Dan tentunya dikecualikan darinya air yang sangatlah banyak dan telah mencapai batasan tertentu yang berat sangkaan menyatakan bahwa najis tidak sampai kesitu.



Bantahan

Berkata Ibnul Qayyim : “Seluruh ini adalah menyelisihi madlul (makna yang ditunjukkan) hadits dan menyelisihi apa yang manusia berada diatasnya, dan (menyesilihi) orang-orang yang berilmu secara keseluruhan, karena mereka melarang kencing pada air-air ini –walaupun hanya sekedar kencing- agar menajisinya sebagai Saddu Dzari'ah[1], karena apabila manusia diberi kemungkinan untuk kencing pada air-air ini –walaupun sangat besar lagi banyak- maka tidak akan lama air itu berubah dan rusak bagi manusia sebagaimana yang telah kita lihat dari perubahan sungai-sungai yang mengalir karena terlalu banyak kencing...”.



2. Diriwayatkan bahwa ada orang Zinjy yang meninggal dalam sumur zamzam lalu Ibnu ‘Abbas memerintahkan akan airnya dikuras.

Sisi pendalilan : Dimaklumi bersama bahwa air Zamzam lebih dari dua qullah.



Bantahan

Sangkaan mereka ini adalah batil tidak ada asalnya. Berkata Imam Asy-Syafi’iy : “Saya berjumpa dengan sejumlah Syaikh Mekkah kemudian saya tanya kepada mereka tentang hal ini maka mereka berkata : “Kami tidak pernah dengar tentang ini”.”

Dan Al-Baihaqy dan selainnya meriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyyainah Imam besar kota Mekkah bahwa beliau berkata : “Saya di Mekkah semenjak 70 tahun, saya tidak melihat seorangpun –tidak kecil dan tidak (pula) besar- mengenal hadits Zinjy yang mereka sebutkan dan saya tidak mendengar seorang pun berkata (air) Zamzam telah dikuras”. Baca Al-Majmu’ 1/167.



Tarjih



Nampak dari penjelasan di atas bahwa yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama. Demikian dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rajab, Ash-Shon’any, Asy-Syaukany, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab beserta ulama Najd, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dan lain-lainnya. Wallahu Ta’ala A’lam.



Baca pembahasan di atas dalam : Al-Ausath 1/164-273, Al-Mughny 1/36-43, Al-Ifshoh 1/71, Al-Inshof 1/55-57, Al-Majmu’ 1/162-170, Al-Muhalla dalam masalah no. 136, Majmu’ Al-Fatawa 21/30-35, Tahdzibus Sunan 1/56-74, Subulus Salam 1/17-23, Nailul Authar 1/39-41, As-Sail Al-Jarrar 1/54-56, Aunul Ma’bud 1/103 dan seterusnya, Tuhfatul Ahwadzy 1/173 dan seterusnya, Asy-Syarh Al-Mumti’ 1/44-49 dan Taudhih Al-Ahkam.



Empat : Setelah mengetahui bahwa air kejatuhan najis tidak menjadi najis kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya, mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana kalau najis tersebut jatuh pada benda cair selain dari air seperti susu, air kelapa dan lain-lainnya.

Uraian masalah ini adalah sebagai berikut :

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 1/175-176 : “Adapun selain air dari (benda-benda) cair dan selainnya yang berupa (benda-benda) ruthab (basah) maka ia menjadi najis dengan melekatnya najis (padanya) walaupun (jumlahnya) mencapai beberapa qullah, dan ini tidak perbedaan antara ashhab kami (pengikut madzhab Syafi’iyyah) dan saya tidak mengetahui ada penyelisihan dari seorang ulama pun”.

Demikian pernyataan Imam An-Nawawy, mungkin yang beliau inginkan dari pernyataan beliau “saya tidak mengetahui ada penyelisihan dari seorang ulama pun” yaitu dari ulama Syafi’iyyah, karena perselisihan dalam masalah ini adalah masyhur.

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 1/44-45 menyebutkan bahwa ada tiga riwayat dari Imam Ahmad dalam masalah ini :



1. Benda cair selain air tidaklah najis bila kejatuhan najis kecuali kalau berubah salah satu dari tiga sifatnya.

2. Benda cair selain air bila kejatuhan najis menjadi najis walaupun banyak.

3. Benda cair yang asalnya adalah air seperti cuka korma tidaklah najis karena yang mendominasi pada cuka tersebut adalah air, kalau sebaliknya maka ia menjadi najis.



Dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim bahwa semua benda cair selain air –sedikit maupun banyak- adalah sama hukumnya dengan air yaitu tidak najis walaupun kejatuhan najis sepanjang tidak merubah sifat-sifatnya. Bahkan Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya dari Kitab dan tidak (pula) dari Sunnah”.

Pendapat ini juga yang dipegang oleh Al-Auza’iy, Az-Zuhry, Al-Bukhary, Daud Azh-Zhohiry dan diriwayatkan dari Imam Malik. Dan ia merupakan madzhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad. Baca : Al-Jami’ lil ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah bersama ta’liq-nya 1/128-130.



Lima : Pembahasan di atas adalah berkaitan dengan benda cair selain air. Adapun kalau najis jatuh pada benda padat maka Imam Ibnu ‘Abdil Barr menukil kesepakatan dikalangan para ulama bahwa benda padat bila kejatuhan bangkai (baca : najis) maka yang dibuang hanyalah bangkai tersebut dan sekitarnya kalau memang dipastikan bahwa tidak sesuatu lain yang menerpa bagian lainnya. Baca : Fathul Bary 1/344.

Dalil tentang hal tersebut adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary, beliau berkata :



أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ فَأْرَةٍ سَقَطَتْ فِيْ سَمْنٍ فَقَالَ أَلْقُوْهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرُحُوْهُ وَكُلُوْا سَمْنَكُمْ

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ditanya tentang tikus jatuh dalam samn (minyak padat) maka beliau bersabda : “Lemparkanlah (tikus itu) dan buanglah sekitarnya dan makanlah samn kalian”.”.

Wallahu Ta’ala A’la Wa A’lamu Wa Ahkam.

[1] Saddu Dzari'ah adalah mencegah wasilah-wasilah yang zhohirnya boleh namun bisa mengantar kepada sesuatu yang dilarang guna menolak terjadinya kerusakan”.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi
Bab tentang Air-Air (lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :



5. وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهَُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ)) وَفِيْ لَفْظٍ (( لَمْ يَنْجُسْ )) أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانٍ.

5. Dan dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Apabila air dua qullah, maka dia tidak memikul al-khabats (najis)", dan dalam satu lafazh : "Tidaklah najis".” Dikeluarkan oleh Al-Arba'ah (yang empat) dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.



Sababul Wurud



Hadits ini mempunyai Sababul Wurud, lafazhnya sebagai berikut :



سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَاءِ وَيَنُوْبُهُ مِنَ الدَّوَابِّ وَالسِّبَاعِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : (( إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ)) وَفِيْ لَفْظٍ (( لَمْ يَنْجُسْ )).

“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ditanya tentang air dan berbolak-baliknya hewan dan binatang buas pada air itu ?. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Apabila air dua qullah, maka dia tidak menyandang al-khabats (najis)”, dan dalam satu lafazh : “Tidaklah najis”.”



Lughatul Hadits



* Al-khabats menurut ahli bahasa mempunyai beberapa arti, namun maknanya disini adalah najis sebagaimana diterangkan dalam riwayat yang lain. Maka makna hadits di atas adalah jatuhnya najis ke dalam air tidaklah membuatnya najis.

Baca : Ma'alimus Sunan 1/57, Al-Badr Al-Munir 2/112, Nailul Author 1/41, 'Aunul Ma'bud 1/103-104 dan Tuhfatul Ahwadzy 1/180.



Syarah Hadits



Dalam hadits diatas ada beberapa masalah yang perlu diuraikan :



Satu : Qullah secara bahasa timbah besar yang bisa diangkat oleh orang sangat kuat. Demikian keterangan Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir 2/107.

Namun Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan ukuran qullah tersebut sehingga Ibnul Mundzir menyebutkan sembilan pendapat :

1. Qullah adalah apa yang mencukupi dua qirbah (dua timba besar) atau dua qirbah dan lebih sedikit. Ini adalah pendapat Ibnu Juraij.

2. Satu qullah adalah dua qirbah setengah. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi'i.

3. Dari Imam Ahmad ada dua pendapat ; Pertama beliau mengatakan bahwa satu qullah adalah dua qirbah dan pendapat yang lainnya mengatakan bahwa dua qullah adalah lima qirbah.

4. Dua qullah sekitar enam qirbah sebab satu qullah seperti Al-Khabiyah (kolam besar). Dan ini adalah pendapat Ibnu Rahawaih.

5. Dua qullah adalah lima qirbah, bukan qirbah yang paling besar dan bukan pula qirbah yang paling kecil. Dan ini adalah pendapat Abu Tsaur.

6. Dia adalah Al-Hubab yaitu Qilal Hajar[1], dan tidak ada ukuran yang tepat untuknya. Dan ini adalah pendapat Abu ‘Ubaid, dan beliau berkata: “Ia dikenal dan sangat masyhur, kami mendengar hal tersebut dalam sya’ir-sya’ir mereka (Orang Arab fasih,-pent.)”.

7. Satu qullah adalah satu tempayan besar dan tidak ada ukurannya. Ini adalah pendapat Ibnu Mahdy, Waki’ dan Yahya bin Adam.

8. Satu Qullah dikatakan seperti Al-Kuz (cangkir cubung).

9. Qullah adalah diambil dari استفل فلان بحمله إذا أذا أطاقه وحمله. Yang artinya “Fulan mampu membawanya dan menyandangnya”. Dan Al-Kizan (Cangkir) disebut Qullah karena ia bisa diangkat dengan tangan, dibawa kemudian dipakai minum dengannya. Dan qullah kadang pada cangkir yang kecil, kadang pada tempayan yang besar lagi ringan, dan kadang pada tempayan yang sangat besar apabila orang yang kuat dari kalangan laki-laki mampu mengangkatnya. Demikian dikatakan oleh sebagian ahli bahasa.

Lihat : Al-Ausath 1/261-263, At-Talkhis, ‘Aunul Ma’bud 1/103 dan Al-Muhalla 1/151.



Dan diantara para ulama ada yang menyebutkan bahwa ukuran Qullah adalah dengan qilal Hajar. Namun hal tersebut berdasarkan dengan hadits yang lemah dari jalan Al-Mughirah bin Suqlab dari Muhammad bin Ishaq dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar secara marfu’ dengan lafazh :



إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ

“Apabila air dua qullah dari Qilal Hajar, maka tidaklah dia dinajisi oleh sesuatu apapun”. (Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil 6/359).

Al-Mughirah yang tersebut dalam sanad adalah Mungkarul Hadits sebagaimana yang disimpulkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan riwayat di atas telah dianggap salah oleh Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi dalam Syarh ‘Ilal Ibnu Abi Hatim hal. 296-297.



Mungkin dari keterangan di atas Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 1/23 menetapkan tidak diketahuinya ukuran Qullah dan maknanya mengandung kemungkinan.

Dan Imam Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ausath 1/171 mengomentari pendapat-pendapat tentang ukuran dua qullah di atas dengan ucapan beliau : “Maka ukuran-ukuran dan istihsanat (anggapan-anggapan baik) itu (hanyalah) dari yang mengucapkannya, tidaklah yang mengucapkannya diantara mereka mengembalikan hal tersebut kepada hujjah dari Kitab atau Sunnah dan Ijma’…”.



Maka sebagai kesimpulan seputar ukuran qullah, kami bawakan disini perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Tahdzib As-Sunan 1/72, beliau berkata : “Sesungguhnya khawash (orang-orang khusus) dari kalangan ulama kaki mereka tidak berpijak di atas satu pendapat pun tentang ukuran qullah, ada yang berkata seribu Rathal ‘Irak[2], ada yang berkata enam ratus Rathal ‘Irak, ada yang berkata lima ratus Rathal ‘Irak dan ada yang berkata empat ratrus Rathal ‘Irak. Dan yang lebih menakjubkan dari ini adalah menjadikan ukuran ini sebagai pembatasan. Apabila ulama telah menjadi musykil bagi mereka tentang ukuran dua qullah dan pendapat-pendapat mereka goncang dalam hal ini maka bagaimana sangkaanmu terhadap seluruh umat. Dan telah dimaklumi bahwa batasan-batasan syar’i tidak seperti ini keadaannya.”



Dua : Hadits ini mempunyai manthuq (pemahaman tersurat) dan mafhum (pemahaman tersirat). Manthuq dari hadits menunjukkan bahwa apabila air mencapai dua qullah, maka air itu tidaklah najis sama sekali baik najis itu merubah salah satu dari tiga sifatnya atau tidak. Namun manthuq ini tidak berlaku dan tidak dipakai karena para ulama sepakat bahwa air menjadi najis bila salah satu dari tiga sifatnya berubah karena kejatuhan najis, baik air itu sedikit maupun banyak sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan hadits Abu Sa’id Al-Khudry. Demikian makna keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Adapun mafhum dari hadits akan diuraikan lebih lanjut.



Tiga : Para ulama berselisih pendapat tentang air yang bercampur dengan najis dan tidak berubah salah satu dari tiga sifatnya, ada tiga madzhab/pendapat dikalangan para ulama dalam hal tersebut :



* Tidaklah dianggap najis kecuali bila merubah rasa, warna atau baunya, sedikit maupun banyak. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Hudzaifah, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum, Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashry, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, ‘Atho`, Jabir bin Zaid, Ibnu Abi laila, Yahya Al-Qoththon dan Ibnul Mahdy[3]. Dan ini adalah madzhab Imam Malik, Imam Asy-Syafi’iy, Imam Ahmad -dalam salah satu riwayat dari beliau berdua-, Ats-Tsaury, Al-Auza’iy, Daud Azh-Zhohiry dan Ibnul Mundzir. Dan ini pula yang merupakan pendapat dari kebanyakan dari para ulama ahli hadits.



* Ada batasan tertentu air dianggap najis bila kejatuhan najis. Dan para ulama yang memberi ukuran tertentu ini berselisih dalam beberapa pendapat :

Ø Batasan dengan ukuran dua qullah, yaitu apa-apa yang kurang dari dua qullah menjadi najis bila ada najis yang jatuh padanya walaupun tidak berubah tiga sifatnya, dan kalau dua qullah atau lebih maka tidaklah najis kecuali ada perubahan. Ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’iy, Imam Ahmad dalam riwayat yang paling masyhur dari beliau, Ishaq bin Rahawaih dan Abu ‘Ubaid. Dan diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Sa’id bin Jubair dan Mujahid.

Ø Apabila mencapai ukuran 40 qullah maka tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun. Pendapat ini dihikayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma dan Muhammad bin Al-Munkadir.

Ø Apabila satu qurr [4], tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun. Pendapat ini diriwayatkan dari Masruq dan Ibnu Sirin.

Ø Apabila mencapai dua dzanub (timba besar) maka tidaklah najis sama sekali. Pendapat ini adalah salah satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas. Dan ‘Ikrimah berkata : “satu dzanub atau dua dzanub”.

Ø Apabila empat puluh daluw (timba) maka tidaklah najis. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hurairah.



* Adapun Abu Hanifah dan pengikutnya, secara umum mereka berpendapat bahwa air yang banyak menjadi najis bila kejatuhan najis padanya, kecuali air tersebut sangatlah banyak dan telah mencapai batasan tertentu yang berat sangkaan menyatakan bahwa najis tidak sampai kesitu. Namun berapa batasan tertentu tersebut ?, disini letak perbedaan pendapat dikalangan mereka sehingga pengarang Tuhfatul Ahwadzy mengatakan bahwa mereka ada dua belas pendapat dalam hal ini. Sebagian dari mereka mengatakan batasannya adalah jika salah satu ujungnya digoyang ujung lainnya tidak bergerak, sebagian yang lain berkata apabila telah sampai sepuluh hasta sepuluh dikali sepuluh hasta maka itu adalah ukurannya, kapan kurang dari itu maka adalah najis dan lain-lainnya.[5]

[1] Hajar adalah desa dekat dari kota Madinah, demikian keterangan Ibnu Ash-Sholah dan An-Nawawy.

[2] Berkata Syaikh Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam 1/96 : “Satu Rathal ‘Irak adalah sembilan puluh Mistqol, dengan Kilo adalah sekitar 200 Kg.”

[3] Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 1/168 menambah : “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ‘Umar bin Khoththob, Ibnu Mas’ud, Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib, Maimunah radhiyallahu ‘anhum, Al-Aswad bin Yazid, Abdurahman bin Yazid, Al-Qosim bin Abi Bakr, ‘Utsman Al-Butty dan lain-lainnya.

[4] Satu qurr adalah senilai dua belas wasaq. Dan satu wasaq adalah sebanyak enam puluh sho’ sebagaimana ditearangkan dalam An-Nihayah karya Ibnul Atsir.

[5] Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author 1/40 berkata : “Manusia dalam ukuran sedikit dan banyaknya air mempunyai pendapat-pendapat yang tidak ada bekas-bekas dari ilmu padanya maka janganlah kamu sibuk untuk menyebutkannya”.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi