Kamis, 02 April 2009

Keluarnya Wanita dan Kemungkaran Dalam Pemilu

Oleh: Ummu ‘Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iyyah

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata (337/9):

Farwah bin Abil Maghra’ telah mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Ali bin Mushir telah mengabarkan kepada kami, dari Hisyam, dari bapaknya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

خرجت سودة بنت زمعه ليلا، فرآها عمر؛ فعرفها فقال: إنَّك والله يا سودة ما تخفين علينا؛ فرجعت إلى النَّبيِّ صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم فذكرت ذلك له وهو في حجرتي يتعشّى، وإنَّ في يده لعرقًا؛ فأنزل الله عليه فرفع عنه وهو يقول: قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Pada suatu malam Saudah bin Zam’ah keluar. ‘Umar melihatnya dan mengenalinya. Dia berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya engkau wahai Saudah tidak tersamar bagi kami.’ Maka Saudah kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menyebutkan hal itu kepada beliau yang sedang makan malam di kamarku. Di tangan beliau ada tulang yang sebagian besar dagingnya telah diambil. Maka turunlah wahyu kepada beliau, lalu diangkatlah wahyu itu dari beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh kalian telah diizinkan untuk keluar karena hajat kalian.’”

Banyak sebab keluarnya wanita dari rumahnya, baik ke arah kanan dan ke kiri, karena perkara yang paling remeh.

Dan tinggalnya wanita di dalam rumahnya merupakan sebuah syari’at rabbani dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian.” (Al-Ahzaab: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih tahu tentang sesuatu yang lebih baik bagi hamba-hamba-Nya, lagi Maha Tahu tentang keadaan wanita.

Ada orang-orang sesat yang berpendapat bahwa tinggalnya wanita di dalam rumahnya merupakan suatu bentuk kezhaliman terhadap wanita, dan bahwa hal itu merupakan penjara baginya dan mengurangi kebebasannya.

Saya katakan: Celaka dan jeleklah perkataan yang keluar dari mulut seorang lelaki yang dengki terhadap Islam ini, atau orang bodoh yang lebih sesat daripada keledai jinaknya.

Dengan tinggalnya wanita di rumahnya, dia bisa menyelesaikan urusan rumah tangganya, menegakkan hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya, dan membekali dirinya dengan kebaikan. Adapun seringnya wanita keluar dari rumahnya, akan menyebabkan kewajiban-kewajibannya terbengkalai.

Di masa kita ini, kaum muslimin menelan pemikiran yang diselipkan musuh-musuh Islam, yaitu pemilu. Mereka mewajibkan kaum wanita keluar rumah untuk mengikuti pemilu.

Keluar rumah pada asalnya adalah boleh. Akan tetapi (sebagaimana kaidah) “sarana itu dihukumi sesuai tujuannya.” Tatkala keluar rumah itu untuk bermaksiat, maka hukumnya pun menjadi haram.

Dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, saya sebutkan sekilas tentang pemilu dan penjelasan bahwa pemilu tidaklah disyari’atkan. Supaya orang yang binasa akan binasa dengan hujjah, dan orang yang hidup akan hidup dengan hujjah pula.

Segala sesuatu yang akan saya peringatkan tentang pemilu merupakan petikan dari sebagian kaset rekaman Ayahanda -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya-, dan terkadang saya tambah sedikit apa yang belum beliau sebutkan.

Saya katakan -Allah Subhanahu wa Ta’alalah yang memberi taufiq kepada kebenaran:

Pemilu tidaklah disyariatkan, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-khulafa’ ar-rasyidun, para shahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum, juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’un) yang hidup dalam generasi utama maupun yang selain mereka. Padahal merekalah manusia yang paling beilmu tentang As-Sunnah dan paling sempurna kecintaannya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita dan kalian.

Sehingga dapatlah diketahui bahwa mengadakan pemilihan umum ini merupakan perkara yang tidak ada hujjahnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan hujjah yang nyata, dan beliau tidak meninggalkan satu jalan pun yang mengantarkan ke surga kecuali telah beliau tunjukkannya kepada umatnya. Beliau juga telah memperingatkan umatnya dari jalan yang mendekatkan kepada adzab.

Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun kecuali dia wajib menunjukkan kepada ummatnya tentang kebaikan yang telah dia ketahui, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang telah diketahuinya.”

Syubhat:

Salah seorang dari mereka berkata: “Sesungguhnya pemilu ini tidak dibutuhkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak dilakukan di masa beliau.

Bantahan terhadap syubhat ini: Jika pemilu itu disyari’atkan tentu ia baik, dan tentu telah dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kita pasti dianjurkan untuk melakukannya.

Adapun ucapan kalian bahwa pemilu tidak dibutuhkan[1] di masa kenabian, maka ucapan ini tidak benar.

Di antara Dalil yang Menunjukkan Kebatilannya

1. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan, maka masuklah sesuatu di dalam hati kebanyakan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:

إِنَّكُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمْرَتِهِ، وَإِنَّهُ لَخَلِيقٌ بِالإِمَارَةِ، وَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي أَبِيهِ

“Sesungguhnya kalian mencacat kepemimpinannya padahal dia pantas memegang kepemimpinannya. Dan sungguh kalian dahulu telah mencacat kepemimpinan bapaknya.” (HR. Al-Bukhari 7/86 dan Muslim 4/1884)

Sisi pendalilan hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka: “Jika kalian tidak meridhai kepemimpinan Usamah, maka kita adakan pemilihan umum.”

2. Dalam Shahih Muslim (3/1381):

لمَّا أسر الأسارى في غزوة بدر، قال رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم لأبي بكرٍ وعمر: مَا تَرَوْنَ فِي هَؤُلاَءِ الأَسَارَى؟ فقال أبو بكرٍ: يا نَبِيَّ الله هم بنو عَمِّ والعشيرة، أرى أن تأخذ منهم فديةً فتكون لنا قوَّةً على الكفَّا؛ فعسى أن يهديهم الله للإسلام، فقال رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم: مَا تَرَى يا ابنَ الخَطَّابِ؟ قلت: لا والله يا رسول الله! ما أرى الَّذي رأى أبو بكرٍ، ولكنِّي أرى أن تمكِّنَّا فنضرب أعناقهم؛ فتمكِّن عليًّا من عقيلٍ فيضرب عنقه وتمكِّنِّي من فلانٍ -نسيبًا لعمر- فأضرب عنقه، فإنَّ هؤلاء أئمَّة الكفر وصناديدها. فهوي رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم ما قال أبو بكرٍ ولم يهوَ ما قلت، فلمَّا كان من الغد فإذَا رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم وأبو بكرٍ قاعدين يبكيان، قلت: يا رسول الله! أخبرني من أيِّ شيءٍ تبكي أنت وصاحبك؟ فإن وجدت بكاءً بكيت وإلا تباكيت معكما؛ فقال رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم: أَبْكِي لِلَّذِي عَرَضَ عَلَيَّ صَاحِبُكَ مِنْ أَخْذِهِمُ الْفِدَاءَ، لَقَدْ عُرِضُ عَلَيَّ عَذَابُهُمْ أَذْنَى مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ وَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِۚ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّبًاۚ﴾، فَأَحَلَّ اللهُ الْغَنِيمَةَ لَهُمْ

Tatkala beberapa orang musyrik tertawan dalam peperangan Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: ‘Apa pendapat kalian tentang para tawanan ini?’ Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata: “ ‘Wahai Nabi Allah, mereka adalah anak-anak paman dan keluarga kita. Saya berpendapat agar Anda minta tebusan dari mereka sehingga bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan kafir. Mudah-mudahan mereka diberi hidayah untuk masuk Islam.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Apa pendapatmu wahai Ibnul Khaththab?’ saya (‘Umar) berkata: ‘Demi Allah, tidak wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak sependapat dengan Abu Bakr. Tetapi saya berpendapat agar Anda memberi kekuasaan kepada kami atas mereka, lalu kita penggal kepala-kepala mereka. Anda memberi kekuasaan kepada ‘Ali atas ‘Aqil agar dia memenggal lehernya. Dan Anda memberi kekuasaan kepada saya atas fulan -salah seorang kerabat ‘Umar- agar saya penggal lehernya. Sesungguhnya mereka adalah para pentolan kaum kafir dan tokoh-tokoh mereka.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakr dan tidak condong kepada pendapat saya. Keesokan harinya saya datang. Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sedang duduk sambil menangis. Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah beritahu saya mengapa Anda dan shahabat Anda ini menangis? Jika saya mendapati sesuatu yang harus saya tangisi, saya akan menagis. Jika tidak, maka saya berpura-pura menangis bersama Anda berdua.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Saya menangis karena tawaran shahabatmu kepadaku, yaitu mengambil tebusan dari mereka. Sungguh telah ditampakkan kepadaku siksaan mereka yang lebih dekat daripada pohon ini. Dan Allah menurunkan:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ

‘Tidak patut bagi seorang Nabi untuk mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.’

Hingga firman-Nya:

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّبًا

‘Maka makanlah sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.’

Maka Allah menghalalkan ghanimah bagi mereka.

Sisi pendalilan hadits ini: Mereka tidak berkata: “Kita adakan pengumutan suara (pemilu). Kita panggil orang-orang yang berperang dan penduduk Madinah agar mereka memberikan suara, apakah kita mengambil tebusan atau kita bunuh para tawanan?”

3. Al-Bukhari dan Muslim (3/1412) meriwayatkan dari hadits Sahl bin Hunaif bahwa dia berkata:

“Curigailah pendapat-pendapat kalian. Sungguh saya telah melihat diri saya pada hari Abu Jandal (Hari Hudaibiyyah). Seandainya saya mampu menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saya menolaknya. Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.

Dan kami tidaklah meletakkan pedang-pedang kami dari bahu-bahu kami karena suatu perkara (perang) yang membuat kami khawatir, kecuali kami dimudahkan kepada suatu perkara yang telah kami ketahui sebelum perkara ini. Dan tidaklah kami menutup satu sisi perkara darinya kecuali datanglah sisi perkara yang lain atas kami, yang mana kami tidak mengetahui bagaimana kami melakukannya.”

Mereka berselisih namun tidak mengatakan: “Kita adakan pemilihan umum.”

4. Abu Bakr berpendapat untuk menjadikan Bani Hanifah yang pernah dia perangi di zamannya sebagai budak, namun ‘Umar tidak sependapat dengannya. Namun mereka tidaklah mengatakan: “Kita panggil orang-orang, lalu kita adakan pemilihan umum. Siapa yang memperoleh banyak suara, kita ikuti.”

Ini sebagian contoh dalam hal tersebut.

Seorang pemimpin memilih pendapat yang menurutnya benar. Dan kita bukanlah orang yang diserahi urusan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah diberi pilihan.

مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۚ سُبْحَانَ اللهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُثْرِكُونَ

“Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan dengan Dia.” (Al-Qashash: 68)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzaab: 37)

Jika seseorang berkata: “Saya berniat baik, dan saya ingin membela kebenaran. Tidak ada jalan lain bagi saya untuk membelanya kecuali dengan jalan melakukan pemilihan umum.”

Jawabannya: Niat yang baik harus dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah. Sedangkan pemilihan umum mengandung kesesatan yang nyata dan berbagai talbis (penyamaran kebathilan dengan kebenaran), di antaranya:

1. Mereka telah mempersiapkan pemimpin, wakilnya, dan para menterinya, hanya untuk menjadikan mereka sebagai bahan tertawaan.

Inilah awal berbagai talbis mereka. Sebagian orang yang telah mereka persiapkan tersebut sebenarnya adalah mata-mata supaya mereka memata-matai keamanan politik. Mereka mengangkatnya dan memberikan haknya supaya dia pilih, sehingga dia menjadi alat mereka.

2. Pemilihan umum tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Pemilihan umum menyamakan laki-laki yang shalih dengan laki-laki yang fasiq. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا ۚ لاَّ يَسْتَوُونَ

“Maka apakah orang yang beriman itu seperti orang yang fasiq (kafir)? Mereka tidak sama.” (As-Sajdah: 18)

أَمْ حَسِبَ الَّذِيْنَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang sangka itu.” (Al-Jaatsiyah: 21)

وَمَا يَسْتَوِى الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ. وَلاَ الظُّلُمَاتُ وَلاَ النُّورُ. وَلاَ الظِّلُّ وَلاَ الْحَرُورُ. وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ وَلاَ الأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan engkau sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 21)

أفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu adalah benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)

4. Pemilihan umum merupakan sikap taqlid (mengekor) terhadap musuh-musuh Islam. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum tersebut.”

5. Pemilihan umum melelang Islam. Karena terkadang mereka menang dan terkadang tidak. Sedangkan Islam itulah yang unggul dan tidak diungguli. Kemenangan dan kemuliaan hanyalah milik Islam, akan tetapi mereka menghadapkan Islam kepada kerendahan.

6. Pemilihan umum didasarkan pada suara terbanyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ا لأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ

“Dan jika engkau menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan beleka, dah mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)

وَلَكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ

“Tetapi kebanyakan di antara kalian membeci kebenaran itu.” (az-Zukhruf: 78)

وَلَكِنْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْقِلُونَ

“Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.”

وَأَكْثَرُهُمْ لاَيَعْقِلُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Maa’idah: 103)

Al-Imam Al-Bukhari (11/378) dan Muslim (1/200) meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dia berkata:

كنَّا مع النبي صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم قبَّةٍ؛ فقال: أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قلنا: نعم. قال: وَالَّذِي نَفْسِي بَيَدِهِ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَذَاكَ أَنَّ الْجَنَّةَ لاَ يَدْخُلُهَا إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ، وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلاَّ كَالشَّعْرَةِ الْبَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَسْوَدِ، أَوْ كَالشَّعْرَةِ السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَحْمَرِ

“Kami bersama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di sebuah kubah. Beliau berkata: ‘Apakah kalian rela menjadi seperempat penduduk surga?’ Kami menjawab: ‘Ya.’ Beliau berkata lagi: ‘Apakah kalian rela menjadi sepertiga penduduk surga?’ Kami menjawab: ‘Ya’. Beliau berkata: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya berharap kalian menjadi setengah penduduk surga. Yang demikian itu bahwasanya surga tidak akan dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim. Dan tidaklah kalian berada di antara para pelaku kesyirikan kecuali seperti sehelai rambut putih pada kulit lembu yang hitam, atau seperti rambut hitam pada kulit lembu yang merah.’”

Sisi pendalilan dalam dalil-dalil ini, bahwa yang mayoritas adalah orang-orang fasiq dan yang minoritas adalah orang-orang yang shalih. Namun mereka justru mengembalikan urusan kepada mayoritas (dengan pemilu).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ

“Apapun yang kalian perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy-Syuura: 10)

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَيءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)

Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Kembalikan perkara yang diperselisihkan kepada mayoritas, ataukah berfirman: Kembalikan perselisihan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul, lalu keputusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?

7. Pemilihan umum ditegakkan berdasarkan pemungutan suara. Sedangkan pemungutan suara merupakan hukum thaghut dan diharamkan di dalam Islam.

Asy-Syaikh Yahya mengatakan: “Benar, karena pemungutan suara merupakan sikap berhukum dan kembali kepada ucapan manusia dalam perkara-perkara agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah membutuhkan manusia dalam hal ini. Sehingga pemungutan suara semacam ini adalah thaghut.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِى الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (An-Nisaa’: 83)

Terkadang dikatakan (kepada kita): Mengapa kalian mengatakan bahwa pemungutan suara merupakan hukum thaghut, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Asy-Syuura: 38)

Dan berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Aali ‘Imraan: 159)

Dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menentukan kekhilafahan dengan menunjuk enam orang dan memerintahkan mereka untuk bermusyawarah tentang siapa di antara mereka yang berhak menjadi khalifah.

Jawabannya: Kita tidak melarang musyawarah yang dilakukan ahlul halli wal ‘aqdi[2]. Sehingga masalahnya adalah sekelompok ulama dari ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk memilih seorang imam bagi mereka dari bangsa Quraisy yang berpegang kepada As-Sunnah.

8. Pemilu mengharuskan pesertanya untuk memotret, laki-laki memotret laki-laki, dan wanita memotret wanita. Terkadang seorang lelaki memotret sejumlah kaum wanita dan membawa gambar aslinya. Dan terkadang dia memajang sebagian gambar tersebut di toko atau rumahnya untuk menikmati kecantikannya. Sejumlah orang telah menyaksikan demikian itu. Dan memotret (makhluk bernyawa) hukumnya haram.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَقْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً

“Allah berfirman: ‘Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mencipta (menggambar) seperti ciptaan-Ku? Maka hendaklah dia menciptakan satu biji sawi atau sebutir biji atau sebulir gandum.’”

Keduanya meriwayatkan pula dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ

“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa.”

Keduanya juga meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْس فَيُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

“Setiap pembuat gambar (makhluk bernyawa) di neraka. Setiap gambar yang telah dibuatnya akan diberi nyawa lalu dia menyiksanya di jahannam.”

Keduanya meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا، كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Barangsiapa yang menggambar makhluk bernyawa di dunia, maka pada hari kiamat nanti dia dibebani agar meniupkan ruh ke dalam gambar tersebut, padahal dia tidak akan dapat meniupkannya.”

Keduanya meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Saya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

“Sesungguhnya para pembuat gambar-gambar makhluk bernyawa ini akan diadzab pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan (gambar).’”

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Thalhah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ

“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar makhluk bernyawa.”

Al-Bukhari telah meriwayatkan (9/494) dari hadits Abu Juhaifah, dia berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم المُصَوِّرِينَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa.”

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya no. (969), juga At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, dari hadits Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain, dia berkata:

قال لي عليُّ بن أبي طالبٍ: ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم؛ ألا تدع قبرًا مشرفًا إلاَّ سوَّيته، ولا صورةً إِلاَّ طمستها

“’Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: ‘Maukah aku utus engkau dengan sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus saya atas engkau: Hendaklah engkau tidak membiarkan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan, dan tidak membiarkan gambar kecuali engkau menghapusnya.’”

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Jami’-nya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ، لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا، وَلَهُ أُذُنَانِ يَسْمَعُ بِهِمَا، وَلَهُ لِسَانٌ يَتَكَلَّمُ بِهِ، فَيَقُولُ: إِنِّي وُكِّلْتُ بِثَلاَثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهً آخَرَ، وَبِالمُصَوِّرِينَ

“Pada hari kiamat, keluarlah sebuah leher dari neraka dalam keadaan memiliki dua mata yang dia melihat dengan dengannya dan kedua telinga yang dia mendengar dengannya serta sepotong lisan yang dia berbicara dengannya. Lalu dia berkata: ‘Sesungguhnya saya diserahi tiga hal: Setiap orang sombong yang menentang kebenaran, dan orang yang menjadikan sesembahan yang lain bersama Allah, serta para penggambar makhluk bernyawa.’”

Dalil-dalil ini menetapkan haramnya menggambar dan gambar makhluk bernyawa. Dan sebagian dalil-dalil tersebut mengandung ancaman terhadap hal itu.

Hikmah pengharaman gambar makhluk bernyawa yaitu ia menjadi sarana untuk peribadatan, menyerupai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menjadi sarana tersebarnya fitnah di masa kita ini, sehingga lelaki terfitnah dengan wanita dan wanita terfitnah dengan lelaki.

Asy-Syaikh Ibn Baz rahimahullahu mempunyai tulisan tentang haramnya gambar makhluk yang bernyawa. Demikian juga ayahanda rahimahullahu.

9. Pemilu menyamakan wanita dengan laki-laki. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنْثَى

“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Aali ‘Imraan: 36)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang yang menjadikan anak perempuan untuk-Nya dan anak laki-laki untuk mereka:

تِلْكَ إِذًَا قِسْمَةٌ ضِيزَى

“Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 22)

10. Mereka mewajibkan para wanita keluar untuk melakukan pemilihan umum[3].

Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan para wanita untuk tetap tinggal di dalam rumahnya. Keluarnya wanita terkadang mendatangkan fitnah, karena wanita merupakan salah satu sebab fitnah. Disebutkan di dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

خرج رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم في أضحى أو فطر إلى المصلى فمر على النساء فقال: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ؛ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فقلن: وبم يا رسول الله؟! قال: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قلن: وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول الله؟ قال: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟. قلن: بلى. قال: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟. قلن: بلى. قال: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang untuk menunaikan shalat ‘Idul Adhha atau ‘Idul Fitri. Beliau melewati kaum wanita, lalu bersabda: ‘Wahai kaum wanita, bershadaqahlah kalian. Sesungguhnya saya melihat kalian sebagai mayoritas penduduk neraka.’ Mereka bertanya: ‘Mengapa, wahai Rasulullah?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Kalian banyak mencela dan mengkufuri kebaikan suami. Saya tidak melihat orang yang kurang akalnya dan agamanya yang dapat menghilangkan akal laki-laki yang berhati teguh, daripada salah seorang dari kalian.’ Mereka bertanya: ‘Bagaimana kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Bukankah persaksian seorang wanita seperti setengah persaksian seorang lelaki?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Maka itulah kekurangan akalnya. Bukankah ketika wanita itu haidh tidak shalat dan tidak berpuasa?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Maka itulah kekurangan agamanya.’”

Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Usamah bin Zaid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada fitnah para wanita.”

Kami tidaklah melarang wanita keluar dari rumahnya karena kebutuhannya, karena syari’at membolehkannya keluar rumah karena hajatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang dua putri seorang lelaki yang shalih:

وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لاَ نَسْقِى حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

“Dan ia (Musa) menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksud kalian (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum para penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah berusia lanjut.’” (Al-Qashash: 23)

Di masa Nabi, ada wanita-wanita yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan urusan agama mereka kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam juga melihat Asma’ pulang dari tempat memberi makanan kuda Az-Zubair, namun beliau tidak mengingkarinya. Jika hendak safar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam mengundi para istrinya, siapa di antara mereka yang keluar undiannya, dia ikut safar bersama beliau. Dan masih banyak lagi dalil yang lain.

Tetapi keadaan diperbolehkannya wanita keluar rumah adalah jika aman dari fitnah dan tidak terjadi kerusakan karena keluarnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa fitnah dan kerusakan ini terjadi ketika wanita keluar untuk melakukan pemilihan umum.

Syubhat dan Bantahannya

Seseorang dari mereka berkata: “Jika kita tidak memilih laki-laki yang shalih, nanti orang komunis akan berupa mengendalikan kekuasaan.”

Jawabnnya: Sesungguhnya kita bukanlah orang-orang yang dijadikan penentu di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمرِ شَيْءٌ

“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Aali ‘Imraan: 128)

Hendaknya kita bisa mengambil pelajaran dari realita yang ada. Apa yang diperbuat oleh mahkamah-mahkamah lokal (المجالس المحلية) dan komite-komite tetap (اللجنة الدائمة)? Seorang anak perempuan As-Sausah dan Al-Hadhraniyyah, dan para ‘yang mulia’ itu mengangguk-anggukkan kepala sementara wanita tersebut berpidato. Apa yang telah dilakukan oleh komite-komite tetap ini untuk kita? Apa yang telah dilakukan oleh pemilu-pemilu ini untuk kita? Sesungguhnya mereka telah melakukannya, tetapi tidak terwujud sedikitpun pertolongan bagi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal ini sudah cukup bagi pencari kebenaran dan orang yang meninggalkan fanatisme untuk menerima bahwa pemilu haram hukumnya. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdullah Al-Imam hafizhahullahu memiliki sebuah tulisan tentang pengharaman pemilu.

Saya telah melihat sebuah risalah berjudul Syar’iyyatul Intikhaabaat (Disyari’atkannya Pemilu) karya ‘Abdul Majid Az-Zindani. Ternyata risalah ini berisi omong kosong. Dia membawakan dalil-dalil yang tidak dapat dijadikan topangan. Akan tetapi hal itu adalah hawa nafsu yang membuat buta dan tuli. Saya meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah untuk kita dan untuknya.

Setelah mengetahui perkara-perkara yang menyelisihi syari’at dalam pemilu ini, barangsiapa yang berani berpendapat tentang disyari’atkannya pemilu, maka sikap ini merupakan sikap kesombongan dan mengikuti hawa nafsu.

Footnote:

[1] Asy-Syaikh Yahya -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaganya- mengatakan: “Jika pemilu tidak dibutuhkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta seluruh tabi’in dan para pengikut mereka hingga zaman ini, maka kita pun tidak membutuhkannya. Sesungguhnya pemilu hanyalah kebutuhan yang dipaksakan dalam rangka menyambut keinginan orang-orang kafir.”

[2] Mereka adalah para ulama dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berijtihad dalam suatu perkara agama (-pent). Lihat Fathul Bari (13/306)

[3] Pemilu membolehkan kaum wanita menjadi presiden, atau menteri, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak boleh diemban kecuali oleh kaum lelaki. Hal ini diharamkan di dalam syari’at kita. Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لن يفلح قوم ولوْا أمْرهم امرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”

(Dinukil dari نصيحتي للنساء (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal. 117-129, judul: Tidak Mengapa Seorang Wanita Keluar karena Ada Hajat, penerjemah: Al-Ustadz Muhaimin, penerbit: Pustaka Ar-Rayyan Solo, untuk http://akhwat.web.id dengan tambahan teks Arab dari penerbit Darul Atsar Yaman, hal. 97-109)
(http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-manhaj/keluarnya-wanita-dan-kemungkaran-dalam-pemilu/)