Kamis, 02 April 2009

Keluarnya Wanita dan Kemungkaran Dalam Pemilu

Oleh: Ummu ‘Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iyyah

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu berkata (337/9):

Farwah bin Abil Maghra’ telah mengabarkan kepada kami, dia berkata: ‘Ali bin Mushir telah mengabarkan kepada kami, dari Hisyam, dari bapaknya, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

خرجت سودة بنت زمعه ليلا، فرآها عمر؛ فعرفها فقال: إنَّك والله يا سودة ما تخفين علينا؛ فرجعت إلى النَّبيِّ صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم فذكرت ذلك له وهو في حجرتي يتعشّى، وإنَّ في يده لعرقًا؛ فأنزل الله عليه فرفع عنه وهو يقول: قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Pada suatu malam Saudah bin Zam’ah keluar. ‘Umar melihatnya dan mengenalinya. Dia berkata: ‘Demi Allah, sesungguhnya engkau wahai Saudah tidak tersamar bagi kami.’ Maka Saudah kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menyebutkan hal itu kepada beliau yang sedang makan malam di kamarku. Di tangan beliau ada tulang yang sebagian besar dagingnya telah diambil. Maka turunlah wahyu kepada beliau, lalu diangkatlah wahyu itu dari beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sungguh kalian telah diizinkan untuk keluar karena hajat kalian.’”

Banyak sebab keluarnya wanita dari rumahnya, baik ke arah kanan dan ke kiri, karena perkara yang paling remeh.

Dan tinggalnya wanita di dalam rumahnya merupakan sebuah syari’at rabbani dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kalian (para wanita) tetap di rumah kalian.” (Al-Ahzaab: 33)

Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih tahu tentang sesuatu yang lebih baik bagi hamba-hamba-Nya, lagi Maha Tahu tentang keadaan wanita.

Ada orang-orang sesat yang berpendapat bahwa tinggalnya wanita di dalam rumahnya merupakan suatu bentuk kezhaliman terhadap wanita, dan bahwa hal itu merupakan penjara baginya dan mengurangi kebebasannya.

Saya katakan: Celaka dan jeleklah perkataan yang keluar dari mulut seorang lelaki yang dengki terhadap Islam ini, atau orang bodoh yang lebih sesat daripada keledai jinaknya.

Dengan tinggalnya wanita di rumahnya, dia bisa menyelesaikan urusan rumah tangganya, menegakkan hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya, dan membekali dirinya dengan kebaikan. Adapun seringnya wanita keluar dari rumahnya, akan menyebabkan kewajiban-kewajibannya terbengkalai.

Di masa kita ini, kaum muslimin menelan pemikiran yang diselipkan musuh-musuh Islam, yaitu pemilu. Mereka mewajibkan kaum wanita keluar rumah untuk mengikuti pemilu.

Keluar rumah pada asalnya adalah boleh. Akan tetapi (sebagaimana kaidah) “sarana itu dihukumi sesuai tujuannya.” Tatkala keluar rumah itu untuk bermaksiat, maka hukumnya pun menjadi haram.

Dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, saya sebutkan sekilas tentang pemilu dan penjelasan bahwa pemilu tidaklah disyari’atkan. Supaya orang yang binasa akan binasa dengan hujjah, dan orang yang hidup akan hidup dengan hujjah pula.

Segala sesuatu yang akan saya peringatkan tentang pemilu merupakan petikan dari sebagian kaset rekaman Ayahanda -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya-, dan terkadang saya tambah sedikit apa yang belum beliau sebutkan.

Saya katakan -Allah Subhanahu wa Ta’alalah yang memberi taufiq kepada kebenaran:

Pemilu tidaklah disyariatkan, karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-khulafa’ ar-rasyidun, para shahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum, juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (tabi’un) yang hidup dalam generasi utama maupun yang selain mereka. Padahal merekalah manusia yang paling beilmu tentang As-Sunnah dan paling sempurna kecintaannya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita dan kalian.

Sehingga dapatlah diketahui bahwa mengadakan pemilihan umum ini merupakan perkara yang tidak ada hujjahnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan hujjah yang nyata, dan beliau tidak meninggalkan satu jalan pun yang mengantarkan ke surga kecuali telah beliau tunjukkannya kepada umatnya. Beliau juga telah memperingatkan umatnya dari jalan yang mendekatkan kepada adzab.

Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi pun kecuali dia wajib menunjukkan kepada ummatnya tentang kebaikan yang telah dia ketahui, dan memperingatkan mereka dari kejahatan yang telah diketahuinya.”

Syubhat:

Salah seorang dari mereka berkata: “Sesungguhnya pemilu ini tidak dibutuhkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga tidak dilakukan di masa beliau.

Bantahan terhadap syubhat ini: Jika pemilu itu disyari’atkan tentu ia baik, dan tentu telah dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kita pasti dianjurkan untuk melakukannya.

Adapun ucapan kalian bahwa pemilu tidak dibutuhkan[1] di masa kenabian, maka ucapan ini tidak benar.

Di antara Dalil yang Menunjukkan Kebatilannya

1. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan, maka masuklah sesuatu di dalam hati kebanyakan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:

إِنَّكُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمْرَتِهِ، وَإِنَّهُ لَخَلِيقٌ بِالإِمَارَةِ، وَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي أَبِيهِ

“Sesungguhnya kalian mencacat kepemimpinannya padahal dia pantas memegang kepemimpinannya. Dan sungguh kalian dahulu telah mencacat kepemimpinan bapaknya.” (HR. Al-Bukhari 7/86 dan Muslim 4/1884)

Sisi pendalilan hadits ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka: “Jika kalian tidak meridhai kepemimpinan Usamah, maka kita adakan pemilihan umum.”

2. Dalam Shahih Muslim (3/1381):

لمَّا أسر الأسارى في غزوة بدر، قال رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم لأبي بكرٍ وعمر: مَا تَرَوْنَ فِي هَؤُلاَءِ الأَسَارَى؟ فقال أبو بكرٍ: يا نَبِيَّ الله هم بنو عَمِّ والعشيرة، أرى أن تأخذ منهم فديةً فتكون لنا قوَّةً على الكفَّا؛ فعسى أن يهديهم الله للإسلام، فقال رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم: مَا تَرَى يا ابنَ الخَطَّابِ؟ قلت: لا والله يا رسول الله! ما أرى الَّذي رأى أبو بكرٍ، ولكنِّي أرى أن تمكِّنَّا فنضرب أعناقهم؛ فتمكِّن عليًّا من عقيلٍ فيضرب عنقه وتمكِّنِّي من فلانٍ -نسيبًا لعمر- فأضرب عنقه، فإنَّ هؤلاء أئمَّة الكفر وصناديدها. فهوي رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم ما قال أبو بكرٍ ولم يهوَ ما قلت، فلمَّا كان من الغد فإذَا رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم وأبو بكرٍ قاعدين يبكيان، قلت: يا رسول الله! أخبرني من أيِّ شيءٍ تبكي أنت وصاحبك؟ فإن وجدت بكاءً بكيت وإلا تباكيت معكما؛ فقال رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم: أَبْكِي لِلَّذِي عَرَضَ عَلَيَّ صَاحِبُكَ مِنْ أَخْذِهِمُ الْفِدَاءَ، لَقَدْ عُرِضُ عَلَيَّ عَذَابُهُمْ أَذْنَى مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ وَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِۚ﴾ إِلَى قَوْلِهِ: ﴿فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّبًاۚ﴾، فَأَحَلَّ اللهُ الْغَنِيمَةَ لَهُمْ

Tatkala beberapa orang musyrik tertawan dalam peperangan Badr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma: ‘Apa pendapat kalian tentang para tawanan ini?’ Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata: “ ‘Wahai Nabi Allah, mereka adalah anak-anak paman dan keluarga kita. Saya berpendapat agar Anda minta tebusan dari mereka sehingga bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk melawan kafir. Mudah-mudahan mereka diberi hidayah untuk masuk Islam.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Apa pendapatmu wahai Ibnul Khaththab?’ saya (‘Umar) berkata: ‘Demi Allah, tidak wahai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak sependapat dengan Abu Bakr. Tetapi saya berpendapat agar Anda memberi kekuasaan kepada kami atas mereka, lalu kita penggal kepala-kepala mereka. Anda memberi kekuasaan kepada ‘Ali atas ‘Aqil agar dia memenggal lehernya. Dan Anda memberi kekuasaan kepada saya atas fulan -salah seorang kerabat ‘Umar- agar saya penggal lehernya. Sesungguhnya mereka adalah para pentolan kaum kafir dan tokoh-tokoh mereka.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakr dan tidak condong kepada pendapat saya. Keesokan harinya saya datang. Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sedang duduk sambil menangis. Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah beritahu saya mengapa Anda dan shahabat Anda ini menangis? Jika saya mendapati sesuatu yang harus saya tangisi, saya akan menagis. Jika tidak, maka saya berpura-pura menangis bersama Anda berdua.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Saya menangis karena tawaran shahabatmu kepadaku, yaitu mengambil tebusan dari mereka. Sungguh telah ditampakkan kepadaku siksaan mereka yang lebih dekat daripada pohon ini. Dan Allah menurunkan:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ

‘Tidak patut bagi seorang Nabi untuk mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.’

Hingga firman-Nya:

فَكُلُوا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَلاَلاً طَيِّبًا

‘Maka makanlah sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.’

Maka Allah menghalalkan ghanimah bagi mereka.

Sisi pendalilan hadits ini: Mereka tidak berkata: “Kita adakan pengumutan suara (pemilu). Kita panggil orang-orang yang berperang dan penduduk Madinah agar mereka memberikan suara, apakah kita mengambil tebusan atau kita bunuh para tawanan?”

3. Al-Bukhari dan Muslim (3/1412) meriwayatkan dari hadits Sahl bin Hunaif bahwa dia berkata:

“Curigailah pendapat-pendapat kalian. Sungguh saya telah melihat diri saya pada hari Abu Jandal (Hari Hudaibiyyah). Seandainya saya mampu menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saya menolaknya. Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.

Dan kami tidaklah meletakkan pedang-pedang kami dari bahu-bahu kami karena suatu perkara (perang) yang membuat kami khawatir, kecuali kami dimudahkan kepada suatu perkara yang telah kami ketahui sebelum perkara ini. Dan tidaklah kami menutup satu sisi perkara darinya kecuali datanglah sisi perkara yang lain atas kami, yang mana kami tidak mengetahui bagaimana kami melakukannya.”

Mereka berselisih namun tidak mengatakan: “Kita adakan pemilihan umum.”

4. Abu Bakr berpendapat untuk menjadikan Bani Hanifah yang pernah dia perangi di zamannya sebagai budak, namun ‘Umar tidak sependapat dengannya. Namun mereka tidaklah mengatakan: “Kita panggil orang-orang, lalu kita adakan pemilihan umum. Siapa yang memperoleh banyak suara, kita ikuti.”

Ini sebagian contoh dalam hal tersebut.

Seorang pemimpin memilih pendapat yang menurutnya benar. Dan kita bukanlah orang yang diserahi urusan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah diberi pilihan.

مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۚ سُبْحَانَ اللهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُثْرِكُونَ

“Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan dengan Dia.” (Al-Qashash: 68)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al-Ahzaab: 37)

Jika seseorang berkata: “Saya berniat baik, dan saya ingin membela kebenaran. Tidak ada jalan lain bagi saya untuk membelanya kecuali dengan jalan melakukan pemilihan umum.”

Jawabannya: Niat yang baik harus dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah. Sedangkan pemilihan umum mengandung kesesatan yang nyata dan berbagai talbis (penyamaran kebathilan dengan kebenaran), di antaranya:

1. Mereka telah mempersiapkan pemimpin, wakilnya, dan para menterinya, hanya untuk menjadikan mereka sebagai bahan tertawaan.

Inilah awal berbagai talbis mereka. Sebagian orang yang telah mereka persiapkan tersebut sebenarnya adalah mata-mata supaya mereka memata-matai keamanan politik. Mereka mengangkatnya dan memberikan haknya supaya dia pilih, sehingga dia menjadi alat mereka.

2. Pemilihan umum tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Pemilihan umum menyamakan laki-laki yang shalih dengan laki-laki yang fasiq. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا ۚ لاَّ يَسْتَوُونَ

“Maka apakah orang yang beriman itu seperti orang yang fasiq (kafir)? Mereka tidak sama.” (As-Sajdah: 18)

أَمْ حَسِبَ الَّذِيْنَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ ۚ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

“Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang sangka itu.” (Al-Jaatsiyah: 21)

وَمَا يَسْتَوِى الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ. وَلاَ الظُّلُمَاتُ وَلاَ النُّورُ. وَلاَ الظِّلُّ وَلاَ الْحَرُورُ. وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ وَلاَ الأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan engkau sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (Faathir: 21)

أفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الأَلْبَابِ

“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu adalah benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d: 19)

4. Pemilihan umum merupakan sikap taqlid (mengekor) terhadap musuh-musuh Islam. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum tersebut.”

5. Pemilihan umum melelang Islam. Karena terkadang mereka menang dan terkadang tidak. Sedangkan Islam itulah yang unggul dan tidak diungguli. Kemenangan dan kemuliaan hanyalah milik Islam, akan tetapi mereka menghadapkan Islam kepada kerendahan.

6. Pemilihan umum didasarkan pada suara terbanyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang mau bersyukur.” (Saba’: 13)

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ا لأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ

“Dan jika engkau menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan beleka, dah mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Al-An’aam: 116)

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)

وَلَكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ

“Tetapi kebanyakan di antara kalian membeci kebenaran itu.” (az-Zukhruf: 78)

وَلَكِنْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْقِلُونَ

“Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.”

وَأَكْثَرُهُمْ لاَيَعْقِلُونَ

“Dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Maa’idah: 103)

Al-Imam Al-Bukhari (11/378) dan Muslim (1/200) meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, dia berkata:

كنَّا مع النبي صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم قبَّةٍ؛ فقال: أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قلنا: نعم. قال: وَالَّذِي نَفْسِي بَيَدِهِ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا نِصْفَ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَذَاكَ أَنَّ الْجَنَّةَ لاَ يَدْخُلُهَا إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ، وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلاَّ كَالشَّعْرَةِ الْبَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَسْوَدِ، أَوْ كَالشَّعْرَةِ السَّوْدَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَحْمَرِ

“Kami bersama Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di sebuah kubah. Beliau berkata: ‘Apakah kalian rela menjadi seperempat penduduk surga?’ Kami menjawab: ‘Ya.’ Beliau berkata lagi: ‘Apakah kalian rela menjadi sepertiga penduduk surga?’ Kami menjawab: ‘Ya’. Beliau berkata: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya berharap kalian menjadi setengah penduduk surga. Yang demikian itu bahwasanya surga tidak akan dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim. Dan tidaklah kalian berada di antara para pelaku kesyirikan kecuali seperti sehelai rambut putih pada kulit lembu yang hitam, atau seperti rambut hitam pada kulit lembu yang merah.’”

Sisi pendalilan dalam dalil-dalil ini, bahwa yang mayoritas adalah orang-orang fasiq dan yang minoritas adalah orang-orang yang shalih. Namun mereka justru mengembalikan urusan kepada mayoritas (dengan pemilu).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ

“Apapun yang kalian perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (Asy-Syuura: 10)

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِى شَيءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)

Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Kembalikan perkara yang diperselisihkan kepada mayoritas, ataukah berfirman: Kembalikan perselisihan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul, lalu keputusannya terserah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?

7. Pemilihan umum ditegakkan berdasarkan pemungutan suara. Sedangkan pemungutan suara merupakan hukum thaghut dan diharamkan di dalam Islam.

Asy-Syaikh Yahya mengatakan: “Benar, karena pemungutan suara merupakan sikap berhukum dan kembali kepada ucapan manusia dalam perkara-perkara agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah membutuhkan manusia dalam hal ini. Sehingga pemungutan suara semacam ini adalah thaghut.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِى الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (An-Nisaa’: 83)

Terkadang dikatakan (kepada kita): Mengapa kalian mengatakan bahwa pemungutan suara merupakan hukum thaghut, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Asy-Syuura: 38)

Dan berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Aali ‘Imraan: 159)

Dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menentukan kekhilafahan dengan menunjuk enam orang dan memerintahkan mereka untuk bermusyawarah tentang siapa di antara mereka yang berhak menjadi khalifah.

Jawabannya: Kita tidak melarang musyawarah yang dilakukan ahlul halli wal ‘aqdi[2]. Sehingga masalahnya adalah sekelompok ulama dari ahlul halli wal ‘aqdi berkumpul untuk memilih seorang imam bagi mereka dari bangsa Quraisy yang berpegang kepada As-Sunnah.

8. Pemilu mengharuskan pesertanya untuk memotret, laki-laki memotret laki-laki, dan wanita memotret wanita. Terkadang seorang lelaki memotret sejumlah kaum wanita dan membawa gambar aslinya. Dan terkadang dia memajang sebagian gambar tersebut di toko atau rumahnya untuk menikmati kecantikannya. Sejumlah orang telah menyaksikan demikian itu. Dan memotret (makhluk bernyawa) hukumnya haram.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih keduanya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَقْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً، أَوْ لِيَخْلُقُوا شَعِيرَةً

“Allah berfirman: ‘Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mencipta (menggambar) seperti ciptaan-Ku? Maka hendaklah dia menciptakan satu biji sawi atau sebutir biji atau sebulir gandum.’”

Keduanya meriwayatkan pula dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ المُصَوِّرُونَ

“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa.”

Keduanya juga meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْس فَيُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ

“Setiap pembuat gambar (makhluk bernyawa) di neraka. Setiap gambar yang telah dibuatnya akan diberi nyawa lalu dia menyiksanya di jahannam.”

Keduanya meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُوْرَةً فِي الدُّنْيَا، كُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

“Barangsiapa yang menggambar makhluk bernyawa di dunia, maka pada hari kiamat nanti dia dibebani agar meniupkan ruh ke dalam gambar tersebut, padahal dia tidak akan dapat meniupkannya.”

Keduanya meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Saya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

“Sesungguhnya para pembuat gambar-gambar makhluk bernyawa ini akan diadzab pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan (gambar).’”

Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abu Thalhah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ

“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar makhluk bernyawa.”

Al-Bukhari telah meriwayatkan (9/494) dari hadits Abu Juhaifah, dia berkata:

لَعَنَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم المُصَوِّرِينَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang menggambar makhluk bernyawa.”

Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya no. (969), juga At-Tirmidzi dan An-Nasa’i, dari hadits Abul Hayyaj Hayyan bin Hushain, dia berkata:

قال لي عليُّ بن أبي طالبٍ: ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم؛ ألا تدع قبرًا مشرفًا إلاَّ سوَّيته، ولا صورةً إِلاَّ طمستها

“’Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: ‘Maukah aku utus engkau dengan sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus saya atas engkau: Hendaklah engkau tidak membiarkan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan, dan tidak membiarkan gambar kecuali engkau menghapusnya.’”

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Jami’-nya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَخْرُجُ عُنُقٌ مِنَ النَّارِ، لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا، وَلَهُ أُذُنَانِ يَسْمَعُ بِهِمَا، وَلَهُ لِسَانٌ يَتَكَلَّمُ بِهِ، فَيَقُولُ: إِنِّي وُكِّلْتُ بِثَلاَثَةٍ؛ بِكُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٍ، وَمَنْ جَعَلَ مَعَ اللهِ إِلَهً آخَرَ، وَبِالمُصَوِّرِينَ

“Pada hari kiamat, keluarlah sebuah leher dari neraka dalam keadaan memiliki dua mata yang dia melihat dengan dengannya dan kedua telinga yang dia mendengar dengannya serta sepotong lisan yang dia berbicara dengannya. Lalu dia berkata: ‘Sesungguhnya saya diserahi tiga hal: Setiap orang sombong yang menentang kebenaran, dan orang yang menjadikan sesembahan yang lain bersama Allah, serta para penggambar makhluk bernyawa.’”

Dalil-dalil ini menetapkan haramnya menggambar dan gambar makhluk bernyawa. Dan sebagian dalil-dalil tersebut mengandung ancaman terhadap hal itu.

Hikmah pengharaman gambar makhluk bernyawa yaitu ia menjadi sarana untuk peribadatan, menyerupai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan menjadi sarana tersebarnya fitnah di masa kita ini, sehingga lelaki terfitnah dengan wanita dan wanita terfitnah dengan lelaki.

Asy-Syaikh Ibn Baz rahimahullahu mempunyai tulisan tentang haramnya gambar makhluk yang bernyawa. Demikian juga ayahanda rahimahullahu.

9. Pemilu menyamakan wanita dengan laki-laki. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنْثَى

“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Aali ‘Imraan: 36)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang yang menjadikan anak perempuan untuk-Nya dan anak laki-laki untuk mereka:

تِلْكَ إِذًَا قِسْمَةٌ ضِيزَى

“Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 22)

10. Mereka mewajibkan para wanita keluar untuk melakukan pemilihan umum[3].

Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan para wanita untuk tetap tinggal di dalam rumahnya. Keluarnya wanita terkadang mendatangkan fitnah, karena wanita merupakan salah satu sebab fitnah. Disebutkan di dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

خرج رسول الله صلّى الله عليه وعلى آله وسلّم في أضحى أو فطر إلى المصلى فمر على النساء فقال: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ؛ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فقلن: وبم يا رسول الله؟! قال: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قلن: وما نقصان ديننا وعقلنا يا رسول الله؟ قال: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟. قلن: بلى. قال: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟. قلن: بلى. قال: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang untuk menunaikan shalat ‘Idul Adhha atau ‘Idul Fitri. Beliau melewati kaum wanita, lalu bersabda: ‘Wahai kaum wanita, bershadaqahlah kalian. Sesungguhnya saya melihat kalian sebagai mayoritas penduduk neraka.’ Mereka bertanya: ‘Mengapa, wahai Rasulullah?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Kalian banyak mencela dan mengkufuri kebaikan suami. Saya tidak melihat orang yang kurang akalnya dan agamanya yang dapat menghilangkan akal laki-laki yang berhati teguh, daripada salah seorang dari kalian.’ Mereka bertanya: ‘Bagaimana kekurangan agama dan akal kami, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Bukankah persaksian seorang wanita seperti setengah persaksian seorang lelaki?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Maka itulah kekurangan akalnya. Bukankah ketika wanita itu haidh tidak shalat dan tidak berpuasa?’ Mereka menjawab: ‘Benar.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Maka itulah kekurangan agamanya.’”

Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Usamah bin Zaid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku tinggalkan setelahku sebuah fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki daripada fitnah para wanita.”

Kami tidaklah melarang wanita keluar dari rumahnya karena kebutuhannya, karena syari’at membolehkannya keluar rumah karena hajatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang dua putri seorang lelaki yang shalih:

وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ ۖ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا ۖ قَالَتَا لاَ نَسْقِى حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

“Dan ia (Musa) menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksud kalian (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum para penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah berusia lanjut.’” (Al-Qashash: 23)

Di masa Nabi, ada wanita-wanita yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan urusan agama mereka kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam juga melihat Asma’ pulang dari tempat memberi makanan kuda Az-Zubair, namun beliau tidak mengingkarinya. Jika hendak safar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam mengundi para istrinya, siapa di antara mereka yang keluar undiannya, dia ikut safar bersama beliau. Dan masih banyak lagi dalil yang lain.

Tetapi keadaan diperbolehkannya wanita keluar rumah adalah jika aman dari fitnah dan tidak terjadi kerusakan karena keluarnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa fitnah dan kerusakan ini terjadi ketika wanita keluar untuk melakukan pemilihan umum.

Syubhat dan Bantahannya

Seseorang dari mereka berkata: “Jika kita tidak memilih laki-laki yang shalih, nanti orang komunis akan berupa mengendalikan kekuasaan.”

Jawabnnya: Sesungguhnya kita bukanlah orang-orang yang dijadikan penentu di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمرِ شَيْءٌ

“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu.” (Aali ‘Imraan: 128)

Hendaknya kita bisa mengambil pelajaran dari realita yang ada. Apa yang diperbuat oleh mahkamah-mahkamah lokal (المجالس المحلية) dan komite-komite tetap (اللجنة الدائمة)? Seorang anak perempuan As-Sausah dan Al-Hadhraniyyah, dan para ‘yang mulia’ itu mengangguk-anggukkan kepala sementara wanita tersebut berpidato. Apa yang telah dilakukan oleh komite-komite tetap ini untuk kita? Apa yang telah dilakukan oleh pemilu-pemilu ini untuk kita? Sesungguhnya mereka telah melakukannya, tetapi tidak terwujud sedikitpun pertolongan bagi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Hal ini sudah cukup bagi pencari kebenaran dan orang yang meninggalkan fanatisme untuk menerima bahwa pemilu haram hukumnya. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdullah Al-Imam hafizhahullahu memiliki sebuah tulisan tentang pengharaman pemilu.

Saya telah melihat sebuah risalah berjudul Syar’iyyatul Intikhaabaat (Disyari’atkannya Pemilu) karya ‘Abdul Majid Az-Zindani. Ternyata risalah ini berisi omong kosong. Dia membawakan dalil-dalil yang tidak dapat dijadikan topangan. Akan tetapi hal itu adalah hawa nafsu yang membuat buta dan tuli. Saya meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah untuk kita dan untuknya.

Setelah mengetahui perkara-perkara yang menyelisihi syari’at dalam pemilu ini, barangsiapa yang berani berpendapat tentang disyari’atkannya pemilu, maka sikap ini merupakan sikap kesombongan dan mengikuti hawa nafsu.

Footnote:

[1] Asy-Syaikh Yahya -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaganya- mengatakan: “Jika pemilu tidak dibutuhkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya serta seluruh tabi’in dan para pengikut mereka hingga zaman ini, maka kita pun tidak membutuhkannya. Sesungguhnya pemilu hanyalah kebutuhan yang dipaksakan dalam rangka menyambut keinginan orang-orang kafir.”

[2] Mereka adalah para ulama dari umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berijtihad dalam suatu perkara agama (-pent). Lihat Fathul Bari (13/306)

[3] Pemilu membolehkan kaum wanita menjadi presiden, atau menteri, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak boleh diemban kecuali oleh kaum lelaki. Hal ini diharamkan di dalam syari’at kita. Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لن يفلح قوم ولوْا أمْرهم امرأة

“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”

(Dinukil dari نصيحتي للنساء (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal. 117-129, judul: Tidak Mengapa Seorang Wanita Keluar karena Ada Hajat, penerjemah: Al-Ustadz Muhaimin, penerbit: Pustaka Ar-Rayyan Solo, untuk http://akhwat.web.id dengan tambahan teks Arab dari penerbit Darul Atsar Yaman, hal. 97-109)
(http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-manhaj/keluarnya-wanita-dan-kemungkaran-dalam-pemilu/)

Selasa, 24 Maret 2009

Waktu-waktu yang Terlarang untuk Shalat

Penulis : Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Waktu-waktu yang Terlarang untuk Shalat


‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dalam hadits di atas kita pahami ada tiga waktu yang terlarang bagi kita untuk melaksanakan shalat di waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari terbit sampai tinggi
2. Saat matahari di tengah langit, ketika tidak ada bayangan benda di timur dan di barat
3. Ketika matahari hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam

Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan, termasuk waktu yang dilarang untuk shalat adalah setelah shalat subuh sampai matahari tinggi dan setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)
Adapun sebab dilarangnya shalat di tiga waktu di atas (pada hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu) disebutkan dalam hadits berikut ini:
‘Amr bin ‘Abasah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan tentang pertemuannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka beliau memberi jawaban:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi rahimahullahu berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zuhur setelah shalat ashar1. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata setelah membawakan ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu di atas, “Penukilan ijma’ dan kesepakatan oleh Al-Imam Nawawi perlu dikomentari. Karena, selain beliau telah menghikayatkan dari sekelompok salaf tentang bolehnya shalat di waktu-waktu terlarang secara mutlak sementara hadits-hadits yang melarang tersebut mansukh (dihapus hukumnya) –menurut pendapat Dawud dan selainnya dari ahlu zahir, dan ini yang dipastikan oleh Ibnu Hazm rahimahullahu–; ada pula penghikayatan dari kelompok yang lain tentang larangan secara mutlak dalam seluruh shalat. Didapatkan adanya berita yang shahih dari Abu Bakrah dan Ka’b bin Ujrah tentang larangan mengerjakan shalat fardhu pada waktu-waktu terlarang ini. Ulama yang lainnya menghikayatkan adanya ijma’ tentang bolehnya shalat jenazah di waktu-waktu yang makruh. Namun pendapat ini perlu dikomentari dengan penjelasan yang akan datang pada babnya. Ibnu Hazm rahimahullahu dan selainnya ketika menyatakan mansukh-nya hadits yang menyebutkan waktu-waktu terlarang shalat, mereka bersandar dengan hadits:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka hendaklah ia mengerjakan rakaat yang berikutnya.”
Maka ini menunjukkan bolehnya shalat pada waktu-waktu yang dilarang.
Namun yang lainnya mengatakan, “Pengkhususan (takhshish) lebih utama daripada menganggap adanya naskh. Sehingga pelarangan ini dibawa kepada pemahaman bahwa yang dilarang adalah shalat yang dikerjakan tanpa adanya sebab. Adapun shalat yang memiliki sebab maka dikhususkan dari pelarangan (yakni boleh dilakukan di waktu-waktu terlarang, pent.) dalam rangka menggabungkan di antara dalil-dalil yang ada.” (Fathul Bari, 2/78)
Penulis Taisirul ‘Allam Syarhu ‘Umdatil Ahkam berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang shalat di waktu-waktu terlarang. Jumhur ulama berpandangan dibencinya mengerjakan shalat di waktu tersebut. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang shahih ini dan selainnya. Zahiriyah berpandangan bolehnya shalat di waktu tersebut. Adapun hadits-hadits yang melarang, mereka mengatakannya mansukh. Namun semua hadits yang mereka anggap mansukh, ulama menjadikannya termasuk bab membawa nash yang muthlaq kepada yang muqayyad, atau membangun yang khusus di atas yang umum. Tidak perlu menghukumi mansukh kecuali bila nash-nash tersebut tidak mungkin dikumpulkan/digabungkan. Sementara nash-nash dalam masalah ini mungkin bahkan mudah dikumpulkan.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, shalat apa sajakah yang dilarang untuk dikerjakan di waktu-waktu tersebut?
Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah berpandangan yang dilarang adalah seluruh shalat sunnah kecuali dua rakaat thawaf. Mereka berdalil dengan keumuman larangan yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Asy-Syafi’iyyah dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sekelompok muridnya, yang dilarang adalah shalat-shalat sunnah yang dikerjakan tanpa sebab. Adapun yang memiliki sebab seperti shalat tahiyatul masjid bagi orang yang masuk masjid, shalat sunnah dua rakaat setelah wudhu, maka dibolehkan ketika ada sebabnya di waktu apa saja. Dalil mereka dalam hal ini adalah hadits-hadits khusus yang menyebutkan tentang shalat-shalat ini sebagai pengkhususan bagi hadits-hadits yang berisi pelarangan secara umum2.
Dengan pendapat ini terkumpullah dalil-dalil seluruhnya dan bisa diamalkan seluruh hadits dari dua pihak yang berbeda pendapat.
Kemudian ulama berbeda pendapat lagi, apakah larangan yang ada dimulai pada waktu subuh dari mulai terbitnya fajar kedua atau dimulai dari pengerjaan shalat subuhnya?
Hanafiyyah berpendapat pelarangan dimulai dari waktu terbitnya fajar kedua. Pendapat ini juga masyhur dari mazhab Hanabilah. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Ashabus Sunan Al-Arba’ah (penulis kitab Sunan yang empat) dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ
“Tidak ada shalat setelah fajar kecuali dua sujud (shalat dua rakaat).”
Hadits ini menunjukkan haramnya mengerjakan shalat sunnah setelah terbitnya fajar kecuali dua rakaat qabliyah fajar. Karena yang dimaukan dari penafian (peniadaan dalam hadits di atas dengan lafadz: “Tidak ada shalat….”-pent.) adalah pelarangan. Mayoritas ulama berpendapat larangan dimulai dari selesai pelaksanaan shalat fajar (yakni tidak ada shalat sunnah yang dikerjakan setelah mengerjakan shalat fajar/subuh, pent.) bukan dimulai dari terbitnya fajar. Mereka berdalil dengan beberapa hadits di antaranya hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah shalat fajar sampai matahari terbit.”
Juga hadits-hadits selainnya yang banyak lagi shahih.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh kelompok pertama, ada maqal (masih diperbincangkan). Tidak bisa dihadapkan dengan semisal hadits-hadits ini.” (Taisirul ‘Allam, 1/129)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata:
صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ: شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah ashar dan mengatakan, ‘Orang-orang dari Abdul Qais menyibukkan aku dari mengerjakan shalat sunnah dua raka’at setelah zuhur’.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya, kitab Mawaqitush Shalah, bab Ma Yushalla ba’dal ‘Ashri minal Fawait wa Nahwiha)
2 Pendapat inilah yang rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=750}

Sabtu, 21 Maret 2009

Perbedaan antara Darah Haid, Istihadhah dan Darah Nifas

Apa perbedaan antara darah haid, istihadhah, dan darah nifas?

Jawab:
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjawab secara panjang lebar yang kami ringkaskan sebagai berikut, “Tiga macam darah yang ditanyakan keluar dari satu jalan. Namun namanya berbeda, begitu pula hukum-hukumnya, karena perbedaan sebab keluarnya.
Adapun darah nifas sebabnya jelas, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan. Darah nifas ini merupakan sisa darah yang tertahan di dalam rahim sewaktu hamil. Bila seorang wanita telah melahirkan kandungannya, darah itu pun keluar sedikit demi sedikit. Bisa jadi waktu keluarnya lama/panjang, dan terkadang singkat. Tidak ada batasan minimal waktu nifas ini. Adapun waktu maksimalnya menurut mazhab Hambali adalah 40 hari, dan bila lebih dari 40 hari darah masih keluar sementara tidak bertepatan dengan kebiasaan datangnya waktu haid maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Namun menurut pendapat yang shahih, tidak ada pula batasan waktu maksimal dari nifas ini.
Darah yang keluar bukan karena sebab melahirkan adalah darah haid sebagai suatu ketetapan dan sunnatullah atas seorang wanita. Di mana bila si wanita sudah dapat hamil dan melahirkan maka secara umum akan datang kepadanya haid di waktu-waktu tertentu, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan si wanita. Bila seorang wanita hamil umumnya ia tidak mengalami haid, karena janin yang dikandungnya beroleh sari-sari makanan dengan darah yang tertahan tersebut.
Keluarnya darah haid menunjukkan sehat dan normalnya si wanita. Sebaliknya tidak keluarnya darah haid menunjukkan ketidaksehatan dan ketidaknormalan seorang wanita. Makna ini disepakati oleh ahli ilmi syar’i dan ilmu kedokteran, bahkan dimaklumi oleh pengetahuan dan kebiasaan manusia. Pengalaman mereka menunjukkan akan hal tersebut. Karena itulah ketika memberikan definisi haid, ulama berkata bahwa haid adalah darah alami yang keluar dari seorang wanita pada waktu-waktu yang dimaklumi.
Menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur minimal seorang wanita mendapatkan haid. Begitu pula batasan waktu minimal lamanya haid, sebagaimana tidak ada batasan maksimalnya. Tidak ada pula batasan minimal masa suci di antara dua haid. Bahkan yang disebut haid adalah adanya darah, dan yang disebut suci adalah tidak adanya darah. Walaupun waktunya bertambah atau berkurang, mundur ataupun maju, berdasarkan zahir nash-nash syar’i yang ada, dan zahir dari amalan kaum muslimin. Juga karena tidak melapangkan bagi wanita untuk mengamalkan selain pendapat ini.
Adapun istihadhah adalah darah yang keluar dari seorang wanita di luar kebiasaan dan kewajaran, karena sakit atau semisalnya.
Bila seorang wanita terus menerus keluar darah dari kemaluannya, tanpa berhenti, maka untuk mengetahui apakah darah tersebut darah haid ataukah darah istihadhah bisa dengan tiga cara berikut ini secara berurutan.
(1) Apabila sebelum mengalami hal tersebut ia memiliki kebiasaan (‘adah) haid maka ia kembali pada kebiasaannya (‘adah-nya). Ia teranggap haid di waktu-waktu ‘adah tersebut, adapun selebihnya berarti istihadhah. Selesai masa ‘adah-nya ia mandi dan boleh melakukan ibadah puasa dan shalat (walau darahnya terus keluar karena wanita istihadhah pada umumnya sama hukumnya dengan wanita yang suci, pent.).
(2) Bila ternyata si wanita tidak memiliki ‘adah dan darahnya bisa dibedakan, di sebagian waktu darahnya pekat/kental dan di waktu lain tipis/encer, atau di sebagian waktu darahnya berwarna hitam, di waktu lain merah, atau di sebagian waktu darahnya berbau busuk/tidak sedap dan di waktu lain tidak busuk, maka darah yang pekat/kental, berwarna hitam, dan berbau busuk itu adalah darah haid. Yang selainnya adalah darah istihadhah.
(3) Apabila si wanita tidak memiliki 'adah dan tidak dapat membedakan darah yang keluar dari kemaluannya, maka di setiap bulannya (di masa-masa keluarnya darah) ia berhaid selama enam atau tujuh hari karena adanya hadits-hadits yang tsabit dalam hal ini. Kemudian ia mandi setelah selesai enam atau tujuh hari tersebut walaupun darahnya masih terus keluar. Sedapat mungkin ia menyumpal tempat keluarnya darah (bila darah terus mengalir) dan berwudhu setiap kali ingin menunaikan shalat.” (Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 23-26 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 263-265)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Bila Kebiasaan (‘Adah) Haid Berubah-ubah

Apa yang harus dilakukan seorang wanita apabila ‘adah haidnya berubah-ubah, terkadang maju, terkadang mundur, atau terkadang bertambah dan di kali lain berkurang?

Jawab:
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menjawab, “Menurut mazhab Hambali, wanita yang mengalami kejadian seperti itu tetap berpegang dengan kebiasaan (‘adah) haid sebelumnya. Dia tidak beralih pada ‘adah yang baru sampai ‘adah yang baru tersebut berulang1. Namun pendapat ini tidak dapat diamalkan, karena amalan manusia terus menerus berjalan di atas pendapat yang shahih yang disebutkan di dalam kitab Al-Inshaf. Tidak ada yang melapangkan bagi wanita selain mengamalkan pendapat yang shahih ini, yaitu bila seorang wanita melihat keluarnya darah haid dari kemaluannya maka ia berhenti dari mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia melihat dirinya telah suci (darahnya tidak lagi keluar) dengan jelas, maka ia pun bersuci dengan mandi dan setelahnya boleh mengerjakan shalat. Sama saja dalam hal ini apakah ‘adahnya maju ataupun mundur. Sama saja apakah waktu haidnya bertambah (ataupun berkurang).
Misalnya, ‘adah (kebiasaan haid) si wanita lima hari namun ia melihat darahnya masih keluar sampai hari ketujuh, maka ‘adahnya sekarang beralih menjadi tujuh hari, tanpa menunggu berulangnya kejadian seperti ini pada masa haid di bulan berikutnya.
Inilah yang diamalkan oleh para wanita dari kalangan sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anahuma, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka semuanya. Demikian pula wanita dari kalangan tabi’in. Sampaipun yang kami dapatkan dari guru-guru kami. Mereka tidaklah berfatwa kecuali dengan pendapat ini. Karena pendapat yang menyatakan seorang wanita tidak boleh beralih kepada ‘adah yang baru sampai ‘adah yang baru tersebut berulang sebanyak tiga kali merupakan pendapat yang tidak memiliki sandaran dalil, bahkan menyelisihi dalil.
Demikian pula menurut pendapat yang shahih, tidak ada batasan umur seorang wanita mengalami haid, walaupun usianya di bawah 9 tahun atau lebih dari 50 tahun. Selama si wanita melihat darah keluar, maka ia berhenti dari mengerjakan ibadah. Karena darah haid ini merupakan asal (mesti dialami oleh setiap wanita yang sehat/normal dan keluarnya rutin), sementara darah istihadhah keluarnya karena satu dan lain hal (tidak mesti keluarnya dan tidak mesti dialami oleh semua wanita).” (Al-Fatawa As-Sa’diyyah, hal. 135, 136 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 267)

1 Berulang sebanyak tiga kali, misalnya 'adah si wanita 5 hari, namun di bulan Syawwal ia melihat darah masih keluar sampai hari ke-7. Maka ia tetap berpegang dengan 'adah-nya yang 5 hari. Ternyata di bulan Dzulqa'dah ia kembali mengalami kejadian yang sama, yaitu melihat darah masih keluar sampai hari ke-7. Demikian pula di bulan Dzulhijjah. Dengan kejadian yang berulang sebanyak tiga kali ini, berarti 'adah-nya telah berubah dari 5 menjadi 7 hari.
(http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=758)

Rabu, 18 Maret 2009

Puasa-puasa Sunnah

Puasa-puasa Sunnah

Oleh Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi
Sabtu, 26 Januari 2008 - 06:42:28
Hit: 1740







1) Puasa 6 hari dibulan syawwal


Berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Raulullah shallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ


“barangsiapa yang berpuasa ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari dibulan syawwal,maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.”


(HR.Muslim: 1164 )


Hadits ini merupakan nash yang jelas menunjukkan disunnahkannya berpuasa enam hari dibulan syawwal. Adapun sebab mengapa Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam menyamakannya dengan puasa setahun lamanya, telah disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa beliau berkata:

“berkata para ulama: sesungguhnya amalan tersebut sama kedudukannya dengan puasa sepanjang tahun,sebab satu kebaikannya nilainya sama dengan sepuluh kali lipat, maka bulan ramadhan sama seperti 10 bulan,dan enam hari sama seperti dua bulan.”

(Syarah Nawawi:8/56)


Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة

“berpuasa ramadhan seimbang dengan sepuluh bulan,dan berpuasa enam hari seimbang dengan dua bulan,maka yang demikian itu sama dengan berpuasa setahun.”

(HR.Nasaai dalam Al-kubra (2860),Al-Baihaqi (4/293),dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ (4/107).

2) Puasa senin dan kamis


Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari senin? Maka beliau menjawab:



ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فيه وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أو أُنْزِلَ عَلَيَّ فيه


“itu adalah hari yang aku dilahirkan padanya,dan aku diutus,atau diturunkan kepadaku (wahyu).”


(HR.Muslim:1162)

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya dari Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau ditanya tentang puasanya Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam, maka beliau menjawab:


وَكَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ


“adalah beliau senantiasa menjaga puasa pada hari senin dan kamis”

(HR.Tirmidzi (745),Ibnu Majah:1739,An-Nassai (2187),Ibnu Hibban (3643).dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah)

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu bahwa Nabi shallahu 'alaihi wasalam berpuasa pada hari senin dan kamis. Lalu ada yang bertanya: sesungguhnya engkau senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis? Beliau menjawab:

تُفَتَّحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يوم الإثنين وَالْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ فِيهِمَا لِمَنْ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شيئا إلا الْمُهْتَجِرَيْنِ يُقَالُ رُدُّوا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا


“dibuka pintu-pintu surga pada hari senin dan kamis,lalu diampuni (dosa) setiap orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,kecuali dua orang yang saling bertikai,dikatakan: biarkan mereka berdua sampai keduanya berbaikan.”

(HR.Tirmidzi (2023),Ibnu Majah (1740),dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi dan Ibnu Majah)

3) Puasa Dawud Alaihissalam


Berdasarkan hadits yang datang dari Abdullah bin Amr bin ‘Al-Ash radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam bersabda


أَحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ كان يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إلى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ كان يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ

“puasa yang paling dicintai Allah Ta'ala adalah puasa Dawud,beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalatnya Dawud,beliau tidur dipertengahan malam,lalu bangun (shalat) pada sepertiga malam,dan tidur pada seperenamnya.”

(HR.Bukhari :3238,dan Muslim:1159)

Dalam riwayat lain beliau shallahu 'alaihi wasalam bersabda:


لَا صَوْمَ فَوْقَ صَوْمِ دَاوُدَ عليه السَّلَام شَطْرَ الدَّهَرِ صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا



“tidak ada puasa (yang lebih utama) diatas puasa Dawud Alaihisssalam,setengah tahun,berpuasalah sehari dan berbukalah sehari.”

(HR.Bukhari: 1879,Muslim:1159)

4) Puasa tiga hari dalam sebulan

Berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam berkata kepadanya:

وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فإن لك بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فإن ذلك صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ



“dan sesungguhnya cukup bagimu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,karena sesungguhnya bagimu pada setiap kebaikan mendapat sepuluh kali semisalnya,maka itu sama dengan berpuasa setahun penuh.”

(HR.Bukhari:1874,Muslim:1159)

Juga diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau ditanya oleh Mu’adzah Al-Adawiyyah: apakah Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam senantiasa berpuasa tiga hari dalam setiap bulan? Maka beliau menjawab: iya.Lalu ditanya lagi: pada hari yang mana dari bulan tersebut? Beliau menjawab:

لم يَكُنْ يُبَالِي من أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ

“beliau tidak peduli dihari yang mana dari bulan tersebut ia berpuasa.”


(HR.Muslim:1160)

Juga dari hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu bahwa beliau berkata:



أَوْصَانِي خَلِيلِي e بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ من كل شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قبل أَنْ أَنَامَ



“Teman setiaku Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam memberi wasiat kepadaku untuk berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,mengerjakan shalat dua raka’at dhuha,dan agar aku mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.”

(HR.Bukhari:1180)

Hadits ini menjelaskan bahwa diperbolehkan pada hari yang mana saja dari bulan tersebut ia berpuasa,maka ia telah mengamalkan sunnah.Namun jika ia ingin mengamalkan yang lebih utama lagi,maka dianjurkan untuk berpuasa pada pertengahan bulan hijriyyah, yaitu tanggal 13,14 dan 15. Hal ini berdasarkan hadits yang datang dari Abu Dzar radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam bersabda:

يا أَبَا ذَرٍّ إذا صُمْتَ من الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“wahai Abu Dzar,jika engkau hendak berpuasa tiga hari dalam sebulan,maka berpuasalah pada hari ketiga belas,empat belas dan lima belas.”

(HR.Tirmidzi:761,An-Nasaai:2424,ahmad:5/162,Ibnu Khuzaimah: 2128,Al-Baihaqi: 4/292.Dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’:4/101-102)

Puasa tiga hari dipertengahan bulan ini disebut dengan hari-hari putih. Dalam riwayat lain dari hadits Abu Dzar radhiallahu'anhu,beliau berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ e أَنْ نَصُومَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاثَةَ أَيَّامِ الْبِيضِ ثَلاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam memerintah kami untuk berpuasa tiga hari-hari putih dalam setiap bulan:13,14 dan 15.”

(HR.Ibnu Hibban:3656)

disebut sebagai “hari-hari putih” disebabkan karena malam-malam yang terdapat pada tanggal tersebut bulan bersinar putih dan terang benderang.

(lihat:fathul Bari:4/226)


Yang lebih menunjukkan keutamaan yang besar dalam berpuasa pada hari-hari putih tersebut, dimana Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan amalan ini. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu'anhu bahwa beliau berkata:

كان رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لا يَدَعُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيضِ في سَفَرٍ وَلا حَضَرٍ

“adalah Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari putih,baik diwaktu safar maupun disaat mukim.”

(HR.At-thabarani: ,dishahihkan Al-Albani dalam shahihul jami’:4848).

5) Puasa Arafah


Berdasarkan hadits Abu Qatadah radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari arafah,Beliau menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

“menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”

(HR.Muslim:1162)

Kecuali bagi mereka yang sedang wukuf di Arafah dalam rangka menunaikan ibadah haji,maka tidak dianjurkan berpuasa pada hari itu. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam berbuka di Arafah,Ummul Fadhl mengirimkan segelas susu kepada beliau,lalu beliau meminumnya.”

(HR.Tirmidzi: 750,dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu'anhu bahwa beliau ditanya tentang hukum berpuasa pada hari Arafah di Arafah?,beliau menjawab”



حَجَجْتُ مع النبي e فلم يَصُمْهُ وَمَعَ أبي بَكْرٍ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فلم يَصُمْهُ وأنا لَا أَصُومُهُ ولا آمُرُ بِهِ ولا أَنْهَى عنه

“aku menunaikan ibadah haji bersama Nabi shallahu 'alaihi wasalam dan beliau tidak berpuasa pada hari itu,aku bersama Abu Bakar radhiallahu'anhu beliau pun tidak berpuasa padanya,aku bersama Umar dan beliau pun tidak berpuasa padanya,aku bersama Utsman dan beliau pun tidak berpuasa padanya. Dan akupun tidak berpuasa padanya,dan aku tidak memerintahkannya dan tidak pula melarangnya.”

(HR.Tirmidzi:751.Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)



6)Puasa dibulan muharram,khususnya pada hari ‘Asyura (10 muharram)

Bulan muharram adalah bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak berpuasa padanya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu'anhu bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah bulan Allah: muharram,dan shalat yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat malam.”

(HR.Muslim:1163)

Dan diantara hari-hari dibulan tersebut,lebih dianjurkan lagi berpuasa pada hari Asyura,yaitu tanggal 10 muharram. Banyak hadits-hadits yang menunjukkan sangat dianjurkannya berpuasa pada hari ‘Asyura. Diantaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau berkata:

كان رسول اللَّهِ  أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فلما فُرِضَ رَمَضَانُ كان من شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Adalah Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam memerintahkan (perintah yang mewajibkan) puasa pada hari ‘Asyura. Maka tatkala telah diwajibkannya ramadhan,maka siapa yang ingin berpuasa maka silahkan dan siapa yang ingin berbuka juga boleh.”

(HR.Bukhari:1897,Muslim: 1125)

Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura,maka beliau menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“menghapus dosa setahun yang telah lalu.”

(HR.Muslim:1162)

Dan juga dianjurkan berpuasa pada tanggal sembilan muharram,berdasarkan hadits Ibnu abbas radhiallahu'anhu bahwa beliau berkata: tatkala Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka (para shahabat) berkata:wahai Rasulullah,itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara. Maka bersabda Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam : jika tiba tahun yang berikutnya,insya Allah kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam wafat.”

(HR.Muslim:1134)

7) Puasa dibulan sya’ban

Diantara bulan yang dianjurkan memperbanyak puasa adalah dibulan sya’ban. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau berkata:



فما رأيت رَسُولَ اللَّهِ  اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إلا رَمَضَانَ وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا منه في شَعْبَانَ

“aku tidak pernah melihat Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali ramadhan,dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak dari bulan sya’ban,”

(HR.Bukhari:1868)

Kecuali pada hari-hari terakhir,sehari atau dua hari sebelum ramadhan ,tidak diperbolehkan berpuasa pada hari itu,terkecuali seseorang yang menjadi hari kebiasaannya berpuasa maka dibolehkan,seperti seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis,lalu sehari atau dua hari tersebut bertepatan dengan hari senin atau kamis. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam bahwa beliau bersabda:

لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ ولا يَوْمَيْنِ إلا رَجُلٌ كان يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari,kecuali seseorang yang biasa berpuasa pada hari itu maka boleh baginya berpuasa.

(HR.Muslim:1082)

Semoga Allah senantiasa menambah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh kita yang senantiasa diterima disisi-Nya.

Ditulis oleh:

Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

17 syawal 1428 H.

Sumber :
www.darussalaf.or.id

Dzikir Sesudah Shalat

Dzikir Sesudah Shalat

Oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
Rabu, 15 Oktober 2008 - 12:28:37
Hit: 547







اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ


“Ya Allah, tolonglah aku untuk selalu mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan membaguskan ibadah kepada-Mu.”


(HR. Abu Dawud no. 1522 Kitabush Shalat, Bab Al-Istighfar, dari shahabat Mua’dz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)


Sumber :
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_on

Senin, 09 Maret 2009

Biografi Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah

Biografi Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah

4 Februari 08 oleh Abu Umar

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.

NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).

TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.

PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.

Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang

KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:

1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.

2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.

3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.

4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.

Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”

MENUNTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.

GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:

1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah

2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri

3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i

4. Sufyan bin Uyainah

5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.

Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:

1. Malik bin Anas

2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany

3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya

Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;

1.Mutharrif bin Mazin

2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.

Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:

1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.

2.Ismail bin Ulayah.

3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.

MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:

1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.

2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani

3. Ishaq bin Rahawaih,

4. Harmalah bin Yahya

5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi

6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.

KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.

PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,

“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).

Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.

Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”

Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”

Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”

Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”

Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”

PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.

Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,

“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”

PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”

Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”

Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”

SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”

Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”

Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”

PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”

WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”

KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.

(Sumber: Majalah As-Salam Pernah dimuat di
www.Ahlussunnah-jakarta.org, diposting oleh Abu Amr di milis Artikel_salafy@yahoogroups.com)

maulid

Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk cinta kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Bahkan tidak akan sempurna keimanan seseorang hingga ia mencintai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anak-anaknya, bahkan seluruh manusia. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

"Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anak-anaknya, dan seluruh manusia." [HR. Bukhariy (15), dan Muslim (44)]

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -hafizhahullah- berkata, "Hadits ini memberikan faedah kepada kita bahwasanya keimanan tidak akan sempurna hingga seseorang mencintai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia." [Lihat Minhajul Firqatun Najiyah (hal. 111)]

Setelah kita mengetahui hal ini, lalu bagaimana cara mencintai Nabi-Shollallahu ‘alaihi wasallam-? Cinta kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah dengan mengikuti syari’at beliau. Tidaklah dibenarkan bagi seseorang untuk mengada-adakan suatu perkara baru dalam syariat beliau, dengan anggapan hal tersebut bisa mendekatkan diri kepada Allah atau suatu bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , atau itu adalah bid’ah hasanah. Padahal semua bid’ah dalam agama adalah sesat dan buruk !!

Di edisi kali ini, kami akan bawakan fatwa ulama besar berkenaan dengan perkara yang dianggap oleh sebagian orang merupakan bentuk kecintaan kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, padahal perkara tersebut tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at yang mulia ini dan bukan pula bentuk kecintaan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .

* Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (mantan mufti di sebuah negeri Timur Tengah), ditanya tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .

Syaikh bin Baaz-rahimahullah- menjawab, "Tidaklah dibenarkan seorang merayakan hari lahir (maulid) Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan hari kelahiran lainnya, karena hal tersebut termasuk bid’ah yang baru diada-adakan dalam agama. Padahal sesungguhnya Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , para Khalifah Ar-Rasyidin dan selainnya dari kalangan sahabat tidak pernah melakukan perayaan tersebut dan tidak pula para tabi’in yang mengikuti mereka dalam kebaikan di zaman yang utama lagi terbaik. Mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah, paling sempurna cintanya kepada Nabi dan ittiba’-nya (keteladanannya) terhadap syariat beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka.

Telah shahih (sebuah hadits) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Beliau juga bersabda, "Wajib atas kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah ar rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah ia kuat-kuat dan gigit dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena semua perkara baru itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat." [Abu Dawud (4617), At-Tirmidziy (2676), dan Ibnu Majah (42). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shahih Al-Jami’ (2546)]

Jadi, dalam dua hadits yang mulia ini terdapat peringatan yang keras dari berbuat bid’ah dan mengamalkannya. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya ." (QS. Al-Hasyr :7).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (QS.An-Nur :63).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS.Al-Ahzab :21).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Pada hari Ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS.Al-Maidah :3).

Membuat perkara baru -semacam maulid- ini akan memberikan sangkaan bahwa Allah -Ta’ala- belum menyempurnakan agama untuk umat ini, dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- belum menyampaikan kepada umatnya apa yang pantas untuk mereka amalkan, sehingga datanglah orang-orang belakangan ini membuat-buat perkara baru dalam syariat Allah apa yang tidak diridhoi Allah, dengan sangkaan hal tersebut bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah. Padahal perkara ini –tanpa ada keraguan- adalah bahaya yang sangat besar, termasuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Padahal sungguh Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya; Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka dan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sungguh telah menyampaikan syariat ini dengan terang dan jelas. Beliau tidaklah meninggalkan suatu jalan yang bisa mengantarkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah sampaikan kepada umatnya, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari sahabat Abdullah bin Amer -radhiyallahu ‘anhu-, beliau berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ, وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kebaikan atas umatnya apa yang ia telah ketahui bagi mereka, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang ia ketahui bagi mereka." [HR.Muslim dalam Shohih-nya (1844)]

Suatu hal yang dimaklumi bersama, Nabi kita -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah Nabi yang paling utama, penutup para nabi dan yang paling sempurna penyampaiannya dan nasihatnya. Andaikata perayaan maulid ini termasuk agama yang diridhoi Allah, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- akan jelaskan kepada umatnya atau pernah melaksanakannya atau setidaknya para sahabat pernah melakukannya. Akan tetapi, tatkala hal tersebut tidak pernah sama sekali mereka lakukan, maka diketahuilah hal tersebut bukanlah dari Islam sedikit pun juga, bahkan dia termasuk dari perkara-perkara baru yang telah diperingatkan bahayanya oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sebagaimana dalam dua hadits yang tersebut di atas. Hadits-hadits lain yang semakna dengannya telah datang (dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-), seperti sabda beliau dalam khutbah jum’at:

أََمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sejelek-jeleknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat." [HR.Muslim Shohih-nya (867)]

Demikian fatwa dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah-, Anda bisa lihat dalam kitab Majmu’ Fatawa As-Syaikhbin Baz (1/183), dan Al-Bida’ wal Muhdatsat (hal 619-621).

* Syaikh Abdul Aziz bin Baaz juga ditanya, "Apa hukum menyampaikan nasihat atau ceramah pada hari maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-?

Syaikh bin Baaz menjawab, "Amar ma’ruf nahi mungkar, memberikan bimbingan dan arahan kepada manusia, menjelaskan kepada mereka tentang agama mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka dengan sesuatu yang bisa melembutkan hati mereka adalah perkara yang disyariatkan pada setiap waktu, karena adanya perintah untuk perkara tersebut datang secara mutlak, tanpa ada pengkhususan waktu tertentu.

Allah -Ta’ala-berfirman,

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS.Al-Maidah : 104).

Allah -Ta’ala- berfirman,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS.An-Nahl :125).

Allah juga menjelaskan keadaan orang-orang munafik dan sikap para da’i (penyeru) di antara mereka,

"Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri. Kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang berbekas pada jiwa mereka." (QS. An-Nisa’: 61-63); dan ayat-ayat lain.

Jadi, Allah memerintahkan untuk berdakwah dan memberikan nasihat secara mutlak, tidak mengkhususkannya pada waktu tertentu. Sekalipun nasihat dan bimbingan ini semakin dianjurkan ketika ada tuntutan kepadanya, seperti khutbah Jum’at dan hari Ied, karena warid (datang)-nya hal tersebut dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .Demikian pula ketika melihat suatu kemungkaran, ini berdasarkan sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." [HR.Muslim (49)]

Adapun pada hari maulid, maka di dalamnya tidak boleh ada suatu pengkhususan dengan suatu ibadah tertentu yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya, adanya nasihat, bimbingan, pembacaan kisah maulid, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah mengkhususkan hal tersebut dengan perkara-perkara tersebut. Andaikan hal tersebut baik, niscaya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang paling pantas untuk (melakukan) hal tersebut. Akan tetapi nyatanya beliau tidak pernah melakukannya. Menunjukkan bahwa adanya pengkhususan-pengkhususan tersebut dengan ceramah, pembacaan kisah maulid atau selainnya termasuk perkara-perkara bid’ah. Telah shahih dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barang siapa yang membuat-buat perkara baru dalam agama ini yang bukan bagian dari agama ini, maka hal itu tertolak". [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (2697) dan Muslim(1718)]

Demikian pula halnya para sahabat, mereka tidak pernah melakukan hal tersebut, padahal mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Sunnah dan paling bersemangat untuk mengamalkannya". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (5591), dan Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa ma laa Ashla lahu (628-630)]

Jadi, maulid bukanlah sarana syar’i dalam beribadah dan mencintai Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi ia adalah ajaran baru yang disusupkan oleh para pelaku bid’ah dan kebatilan . Bid’ah perayaan hari lahir (ulang tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi-Shallallahu ‘alaihi wasallam- (maulid) secara khusus, tidak muncul, kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H.

Ulama’ bermadzhab Syafi’iyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (11/127) berkata, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari tahun 357 – 567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-”.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 79 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

[http://almakassari.com/?p=321]

Selasa, 03 Maret 2009

Tujuh Keajaiban Dunia
Sabtu, 05-Januari-2008, Penulis: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Menara Pisa, Tembok Cina, Candi Borobudur, Taaj Mahal, Ka’bah, Menara Eiffel, dan Piramida di mesir, inilah semua keajaiban dunia yang kita kenal. Namun sebenarnya semua itu belum terlalu ajaib, karena di sana masih ada tujuh keajaiban dunia yang lebih ajaib lagi. Mungkin para pembaca bertanya-tanya, keajaiban apakah itu?

Memang tujuh keajaiban lain yang kami akan sajikan di hadapan pembaca sekalian belum pernah ditayangkan di TV, tidak pernah disiarkan di radio-radio dan belum pernah dimuat di media cetak. Tujuh keajaiban dunia itu adalah:

* Hewan Berbicara di Akhir Zaman

Maha suci Allah yang telah membuat segala sesuatunya berbicara sesuai dengan yang Ia kehendaki. Termasuk dari tanda-tanda kekuasaanya adalah ketika terjadi hari kiamat akan muncul hewan melata yang akan berbicara kepada manusia sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an, surah An-Naml ayat 82,

"Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami".

Mufassir Negeri Syam, Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy berkomentar tentang ayat di atas, "Hewan ini akan keluar diakhir zaman ketika rusaknya manusia, dan mulai meninggalkan perintah-perintah Allah, dan ketika mereka telah mengganti agama Allah. Maka Allah mengeluarkan ke hadapan mereka hewan bumi. Konon kabarnya, dari Makkah, atau yang lainnya sebagaimana akan datang perinciannya. Hewan ini akan berbicara dengan manusia tentang hal itu".[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/498)]

Hewan aneh yang berbicara ini akan keluar di akhir zaman sebagai tanda akan datangnya kiamat dalam waktu yang dekat. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

"Sesungguhnya tak akan tegak hari kiamat, sehingga kalian akan melihat sebelumnya 10 tanda-tanda kiamat: Gempa di Timur, gempa di barat, gempa di Jazirah Arab, Asap, Dajjal, hewan bumi, Ya’juj & Ma’juj, terbitnya matahari dari arah barat, dan api yang keluar dari jurang Aden, akan menggiring manusia". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2901), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4311), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2183), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4041)]

* Pohon Kurma yang Menangis

Adanya pohon kurma yang menangis ini terjadi di zaman Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , mengapa sampai pohon ini menangis? Kisahnya, Jabir bin Abdillah-radhiyallahu ‘anhu- bertutur,

"Jabir bin Abdillah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: "Adalah dahulu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdiri (berkhutbah) di atas sebatang kurma, maka tatkala diletakkan mimbar baginya, kami mendengar sebuah suara seperti suara unta dari pohon kurma tersebut hingga Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- turun kemudian beliau meletakkan tangannya di atas batang pohon kurma tersebut" .[HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (876)]

Ibnu Umar-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

"Dulu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkhuthbah pada batang kurma. Tatkala beliau telah membuat mimbar, maka beliau berpindah ke mimbar itu. Batang korma itu pun merintih. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya sambil mengeluskan tangannya pada batang korma itu (untuk menenangkannya)". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3390), dan At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (505)]

* Untaian Salam Batu Aneh

Mungkin kalau seekor burung yang pandai mengucapkan salam adalah perkara yang sering kita jumpai. Tapi bagaimana jika sebuah batu yang mengucapkan salam. Sebagai seorang hamba Allah yang mengimani Rasul-Nya, tentunya dia akan membenarkan seluruh apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya, seperti pemberitahuan beliau kepada para sahabatnya bahwa ada sebuah batu di Mekah yang pernah mengucapkan salam kepada beliau sebagaimana dalam sabdanya,

Dari Jabir bin Samurah dia berkata, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, "Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus, sesungguhnya aku mengetahuinya sekarang".[HR.Muslim dalam Shohih-nya (1782)].

* Pengaduan Seekor Onta

Manusia adalah makhluk yang memiliki perasaan. Dari perasaan itu timbullah rasa cinta dan kasih sayang di antara mereka. Akan tetapi ketahuilah, bukan hanya manusia saja yang memiliki perasaan, bahkan hewan pun memilikinya. Oleh karena itu sangat disesalkan jika ada manusia yang tidak memiliki perasaan yang membuat dirinya lebih rendah daripada hewan. Pernah ada seekor unta yang mengadu kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- mengungkapkan perasaannya.

Abdullah bin Ja’far-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.

Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1). Lihat Ash-Shahihah (20)]

* Kesaksian Kambing Panggang

Kalau binatang yang masih hidup bisa berbicara adalah perkara yang ajaib, maka tentunya lebih ajaib lagi kalau ada seekor kambing panggang yang berbicara. Ini memang aneh, akan tetapi nyata. Kisah kambing panggang yang berbicara ini terdapat dalam hadits berikut:

Abu Hurairah-radhiyallahu ‘anhu- berkata,

"Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menerima hadiah, dan tak mau makan shodaqoh. Maka ada seorang wanita Yahudi di Khoibar yang menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi racun. Lalu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pun memakan sebagian kambing itu, dan kaum (sahabat) juga makan. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, "Angkatlah tangan kalian, karena kambing panggang ini mengabarkan kepadaku bahwa dia beracun". Lalu meninggallah Bisyr bin Al-Baro’ bin MA’rur Al-Anshoriy. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengirim (utusan membawa surat), "Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?" Wanita itu menjawab, "Jika engkau adalah seorang nabi, maka apa yang aku telah lakukan tak akan membahayakan dirimu. Jika engkau adalah seorang raja, maka aku telah melepaskan manusia darimu". Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh wanita itu, maka ia pun dibunuh. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau,"Senantiasa aku merasakan sakit akibat makanan yang telah aku makan ketika di Khoibar. Inilah saatnya urat nadi leherku terputus". [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4512). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (hal.813), dengan tahqiq Masyhur Hasan Salman]

* Batu yang Berbicara

Setelah kita mengetahu adanya batu yang mengucapkan salam, maka keajaiban selanjutnya adalah adanya batu yang berbicara di akhir zaman. Jika kita pikirkan, maka terasa aneh, tapi demikianlah seorang muslim harus mengimani seluruh berita yang disampaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, baik yang masuk akal, atau tidak. Karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah pernah berbicara sesuai hawa nafsunya, bahkan beliau berbicara sesuai tuntunan wahyu dari Allah Yang Mengetahui segala perkara ghaib.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

"Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi sehingga seorang diantara mereka bersembunyi di balik batu. Maka batu itu berkata, "Wahai hamba Allah, Inilah si Yahudi di belakangku, maka bunuhlah ia". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2767), dan Muslim dalam Shohih-nya (2922)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda dekatnya hari kiamat, berupa berbicaranya benda-benda mati, pohon, dan batu. Lahiriahnya hadits ini (menunjukkan) bahwa benda-benda itu berbicara secara hakikat".[Lihat Fathul Bari (6/610)]

* Semut Memberi Komando

Mungkin kita pernah mendengar cerita fiktif tentang hewan-hewan yang berbicara dengan hewan yang lain. Semua itu hanyalah cerita fiktif belaka alias omong kosong. Tapi ketahuilah wahai para pembaca, sesungguhnya adanya hewan yang berbicara kepada hewan yang lain, bahkan memberi komando, layaknya seorang komandan pasukan yang memberikan perintah. Hewan yang memberi komando tersebut adalah semut. Kisah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qur’an,

"Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.Maka dia (Sulaiman) tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". (QS.An-Naml: 16-19).

Inilah beberapa perkara yang lebih layak dijadikan "Tujuh Keajaiban Dunia" yang menghebohkan, dan mencengangkan seluruh manusia. Orang-orang beriman telah lama meyakini dan mengimani perkara-perkara ini sejak zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai sekarang. Namun memang kebanyakan manusia tidak mengetahui perkara-perkara itu. Oleh karena itu, kami mengangkat hal itu untuk mengingatkan kembali, dan menanamkan aqidah yang kokoh di hati kaum muslimin


Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 46 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)