Sabtu, 17 Januari 2009

Bab Tentang Air-Air (Lanjutan)

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Syarah Hadits



Satu : Hadits ini, didalamnya ada tambahan pengecualian yang tidak terdapat di dalam hadits Abu Sa'id Al-Khudry yang telah lalu, sehingga menunjukkan bahwa air tidaklah dinajisi sesuatu apapun sepanjang salah satu dari tiga sifatnya tidak berubah. Dan tambahan perkecualian ini adalah lemah sebagaimana yang telah diterangkan, namun telah tercapai kesepakatan dikalangan para ulama tentang benarnya makna yang terkandung dalam hadits tersebut.

Berkata Shiddiq Hasan Khan : "Dan para ulama Ahlul Hadits sepakat akan lemahnya tambahan ini akan tetapi terjadi kesepakatan (akan diterimanya) kandungan (tambahan tersebut) sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir dan Al-Mahdy dalam Al-Bahr". Baca Ar-Raudh An-Nadiyyah dengan Ta'liq Al-Albany 1/90-91.

Dan berkata Imam Asy-Syaukany dalam As-Sail Al-Jarrar 1/54 : "Dan tambahan ini telah disepakati oleh para ulama Al-Huffazh akan lemahnya walaupun datang dari beberapa jalan, akan tetapi mereka sepakat untuk beramal dengannya sebagaimana yang dinukil oleh bukan satu dari para Imam dan Ahli Fiqh…".

Berkata Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir 2/83 : "Apabila telah diketahui kelemahan hadits maka berhujjah adalah dengan Ijma' sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafi'iy, Al-Baihaqy dan selain beliau berdua dari para Imam".

Demikian pula makna keterangan Ibnu Hibban bisa dipahami dalam Shohih-nya 4/59 -Al-Ihsan-.

Dan diantara ulama yang menukil kesepakatan tentang benarnya perkecualian tersebut -selain dari yang telah disebutkan- adalah Al-Khaththoby, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma', An-Nawawy, Ibnu Daqiqil Ied, Syaikhul Islam Ibnu Taimyah, Ibnu Qoyyim, dan lain-lainnya.

Baca : Al-Istidzkar 1/201, At-Tamhid, Al-Majmu' 1/160, Thorhuts Tatsrib 2/36,Tahdzibus Sunan 1/67 dan lain-lainnya.



Dua : Ijma' (kesepakatan) para ulama untuk beramal dengan tambahan yang terkandung dalam hadits Abu Umamah diatas tidaklah menunjukkan tambahan tersebut shohih dari sisi riwayat, sebab telah pasti dengan sangat meyakinkan bahwa tambahan tersebut lemah sanadnya.

Berkata Ash-Shon'any dalam Subulus Salam 1/21 : "Maka Ijma' adalah dalil yang menunjukkan tentang najisnya apa-apa yang berubah salah satu sifatnya, bukan tambahan ini".

Maka yang menjadi sandaran diberlakukannya pembatasan bahwa air tidak menjadi najis kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya adalah Ijma' (kesepakatan) para ulama bukan bersandar pada tambahan dalam hadits Abu Umamah yang lemah itu.

Dan perlu diketahui bahwa tidaklah tercapai kesepakatan dikalangan para ulama kecuali mempunyai landasan diatas dalil dari Al-Qur`an ataupun As-Sunnah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : "Apa-apa yang kaum muslimin bersepakat diatasnya maka hal tersebut ada nash yang (menunjukkanya). Dan kami tidak mengetahui satu masalah pun yang kaum muslimin bersepakat diatasnya (dan) tidak ada nash padanya". Demikian dinukil dengan perantara kitab Taudhih Al-Ahkam 1/94.



Tiga : Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan benarnya pembatasan bahwa air tidak menjadi najis kecuali berubah salah satu dari tiga sifatnya dan menunjukkan bahwa hadits “Sesungguhnya air adalah thohur tidak dinajisi oleh sesuatu apapun” tidaklah berlaku secara umum dan mutlak :

* Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :



وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

"Dan pakaianmu bersihkanlah".



* Hadits dua Qullah yang akan datang dalam hadits no. 5.
* Hadits no.12 tentang perintah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam untuk menuangkan setimba air menyiram kencing a'raby (orang arab pedalaman) yang kencing di masjid.
* Hadits larangan kencing di tempat air yang diam, yang akan datang dalam hadits no.6.
* Hadits larangan bagi orang yang terjaga dari tidurnya untuk tidak memasukkan tangannya ke dalam bejana sampai ia mencucinya tiga kali. Akan datang dalam hadits no. 37.
* Hadits perintah mencuci bejana tujuh kali bila anjing menjilat bejana. Yang akan datang dihadits no.10
* Hadits Wabishoh bin Ma'bad riwayat Ahmad, Abu Ya'la dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ

"Tanyalah hatimu walau orang-orang memberi fatwa kepadamu".

* Hadits Al-Hasan bin 'Ali bin Abi Tholib riwayat Ahmad, Ad-Darimy, At-Tirmidzy dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُك

"Tinggalkan apa yang membuat kamu ragu menuju apa yang membuat kamu tidak ragu."



Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author 1/39 : “Para ulama berkata maka hadits “Sesungguhnya air adalah thohur tidak dinajisi oleh sesuatu apapun” dikhususkan oleh dalil-dalil ini”.



Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :



5. وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهَُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : (( إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ)) وَفِيْ لَفْظٍ (( لَمْ يَنْجُسْ )) أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانٍ.

5. Dan dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata : Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : "Apabila air dua qullah, maka dia tidak memikul al-khabats (najis)", dan dalam satu lafazh : "Tidaklah najis". Dikeluarkan oleh Al-Arba'ah (yang empat) dan dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.



Takhrijul Hadits :



Hadits ini diriwayatkan dari tiga jalan :



Kesatu : Dari jalan Al-Walid bin Katsir dan meriwayatkan darinya Abu Usamah. Demikian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/133, 7/281, Abd bin Humaid no. 815, Ibnul Jarud no. 45, Abu Daud no. 63, An-Nasa`i 1/46, 175, dan dalam Al-Kubra 1/74, Ibnu Khuzaimah no. 92, Ibnu Hibban 4/57/1249 dan 4/63/1253, Al-Hakim 1/132, Ad-Daraquthny 1/13-15, Al-Baihaqy 1/260-261 dan dalam Al-Ma'rifah no. 393-395 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 7.

Terjadi perselisihan dalam riwayat Abu Usamah dari Al-Walid bin Katsir ini, yakni apakah guru Al-Walid bin Katsir adalah Muhammad bin Abbad bin Ja'far atau Muhammad bin Ja'far bin Zubair, dan juga diperselisihkan apakah riwayat Muhammad ini dari Abdullah bin Abdullah bin 'Umar atau Ubaidullah bin Abdullah bin 'Umar dari Ibnu 'Umar radhiyallahu Ta'ala 'anhuma.

Perselisihan riwayat tersebut telah kami uraikan dalam "takhrij lengkap" dan telah kami sebutkan bahwa Imam Abu Daud mengatakan bahwa yang benarnya adalah Muhammad bin 'Abbad bin Ja'far. Dan di sisi lain, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ayahnya bahwa beliau menganggap yang benar bagi jalan hadits tersebut adalah dari Muhammad bin Ja'far bin Zubair dan demikian pula pernyataan Ibnu Mandah sebagaimana dalam Nashbur Royah 1/106. Adapun Imam Ad-Daraquthny dalam As-Sunan 1/17 dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya 1/133 menguatkan bahwa kedua sisi riwayat tersebut dua-duanya adalah benar, yaitu Al-Walid bin Katsir punya dua guru ; kadang meriwayatkan dari Muhammad bin Ja'far bin Zubair dan kadang meriwayatkan dari Muhammad bin Abbad bin Ja'far dan keduanya adalah rawi yang tsiqoh. Demikian pula pendapat Imam Al-Baihaqy rahimahullahu Ta'ala. Adapun perselisihan apakah yang benarnya dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Umar atau dari 'Abdullah bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Baihaqy dalam Al-Ma'rifah 1/328 menukil bahwa Al-Hakim menyatakan benarnya riwayat mereka berdua dari Ibnu 'Umar dan beliau juga menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan pendapat kebanyakan ahli riwayat. Demikian pula keterangan Ibnu Mandah rahimahullahu Ta'ala sebagaimana dalam Al-Badr Al-Munir 2/91-92.



Kedua : Dari Jalan Muhammad bin Ishaq bin Yasar dari Muhammad bin Ja'far bin Zubair dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Umar dari ayahnya 'Abdullah bin 'Umar lalu disebutkan haditsnya.

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 2/26 dan 38, Ibnul Jarud no. 45 –secara mu'allaq-, Abu Daud no. 64, Ibnu Majah no. 517, At-Tirmidzy no. 67, Ad-Darimy 1/202 no. 731, Abu Ya'la 9/438-439/559, Al-Hakim 1/133, Ath-Thohawy 1/15-16, Ad-Daraquthny 1/19-21, Al-Baihaqy 1/261 dan dalam Al-Ma'rifah no. 396-397 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 6.

Demikian diriwayatkan oleh 14 orang rawi dari Ibnu Ishaq, dan ada empat penyelisihan dari sebagian rawi baik itu dari sisi matannya maupun sisi sanadnya. Telah kami uraikan penyelisihan-penyelisihan tersebut beserta kesalahannya dalam "takhrij lengkap".



Ketiga : Dari jalan Hammad bin Salamah dari Ashim bin Al-Mundzir bin Zubair dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Umar dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :



إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّهُ لَا يَنْجُسُ

"Apabila air dua qullah maka sesungguhnya ia tidaklah najis".

Dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisy no. 1954, Ibnul Jarud no. 46, Abu Daud no. 65, Ad-Daraquthny 1/23, Al-Baihaqy 1/262 dan dalam Al-Ma'rifah no. 399[1].

Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/23 dan 107, Abd bin Humaid no. 816, Ibnu Majah no. 518, Al-Hakim 1/134, Ad-Daraquthny 1/22, Al-Baihaqy 1/262 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 8-9 dengan lafazh yang sama, hanya saja ada keraguan dalam penentuan jumlah qullahnya. Lafazhnya sebagai berikut :



قُلَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا

"Dua qullah atau tiga".



Dan telah kami terangkan dalam "takhrij lengkap" bahwa yang kuat adalah riwayat dengan lafazh dua qullah. Demikian riwayat kebanyakan murid Hammad bin Salamah yang lebih mengetahui hadits-haditsnya dan lebih lama berguru kepadanya. Sehinggga Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubra 1/262 menguatkan riwayat mereka dengan ucapan beliau : "Riwayat Al-Jama'ah (kebanyakan murid Hammad,-pent.) yang tidak ragu (dalam penyebutan jumlah qullah,-pent.), itu lebih pantas". Senada dengannya keterangan An-Nawawy rahimahullahu Ta'ala dalam Al-Majmu'.

Dan juga ada yang meriwayatkan dari Ashim secara mauquf namun hal tersebut juga lemah sebgaimana yang telah kami uraikan dalam "takhrij lengkap".



Kesimpulan



Hadits Ibnu 'Umar adalah hadits yang shohih, dishohihkan oleh sejumlah Imam Ahli Hadits diantaranya : Ibnu Ma'in, Ath-Thohawy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqy, Ibnu Mandah, Abdul Haq Al-Isybily, An-Nawawy dan lain-lainnya.



Dan perlu kami ingatkan bahwa memang ada sebagian ulama yang melemahkan hadits ini seperti Ibnu 'Abdil Barr, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Daqiqil 'Ied, namun pelemahan tersebut tidaklah dibangun di atas dasar yang kuat dan sebenarnya tidak dianggap 'illah (cacat) tercela yang bisa menggugurkan keabsahan suatu hadits dari sisi riwayat dalam timbangan Ahli Hadits. Sengaja kami tidak menyebutkan alasan pelemahan mereka karena pelemahan itu telah gugur dengan Takhrij di atas. Wallahu Ta'ala A'lam.

[1] Dan Al-Baihaqy berkata : Sanadnya Shohih Maushul (Bersambung).
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar