Sabtu, 17 Januari 2009

Syarah Bulughul Maram

Thursday, 11.12.2008, 07:25am (GMT+8)

Kata Pengantar



Kitab “Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam” karya Imam Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-‘Asqolany yang masyhur dengan nama Al-Hafizh Ibnu Hajar, merupakan kitab yang tidak asing lagi di kalangan para penuntut ilmu syariat.

Bobot dan kualitas kitab telah diakui oleh para ‘ulama setelah Al-Hafizh Ibnu Hajar. Walaupun ringkas dan hanya memuat pokok-pokok hadits hukum tetapi kitab ini telah menjadi salah satu rujukan penting di zaman ini dimana para ‘ulama memberikan perhatian khusus dalam men-syarah dan menguraikan hukum-hukum fiqh yang terkandung di dalamnya.

Dan wajarlah kalau kitab ini sangat populer di seluruh lapisan para penuntut ilmu, baik itu dikalangan para penuntut ilmu hadits maupun dikalangan penuntut ilmu yang mendalami madzhab-madzhab fiqih yang terkenal seperti madzhab yang empat, Hanafy, Maliky, Syafi’iy, Hambaly dan lain-lain.

Terdorong oleh hal ini dan sebagai nasihat bagi ummat untuk kembali mempelajari syari’at Islam serta upaya untuk menghidupkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam yang banyak dianggap asing di zaman ini, maka kami akan berusaha untuk menyajikan kepada para pembaca yang budiman kitab Bulughul Maram disertai dengan syarah (penjelasan) ‘ilmiyah yang menguak kandungan-kandungan fiqh yang terpendam dalam sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam yang agung dan juga disertai dengan takhrij ‘ilmiyah yang menjelaskan derajat setiap hadits berdasarkan timbangan para ‘ulama ahli hadits.

Harapan kami, mudah-mudahan amalan ini ikhlas mengharap wajah-Nya yang Mulia dan bermanfaat untuk Islam dan kaum muslimin, amin…. Ya Mujibas-sailim.


Metode Syarah



Dalam men-syarah Bulughul Maram kami menempuh beberapa metode sebagai berikut :

1. Pada setiap judul kitab dan judul bab yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, akan kami jelaskan makna dan maksudnya di kalangan para ‘ulama fiqh supaya bisa dipahami kandungan judul kitab dan bab tersebut secara global.

2. Kemudian akan kami sebutkan hadits-hadits yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar satu persatu menurut urutan nomor yang dipakai dalam kitab Bulughul Maram tahqiq Samir bin Amin Az-Zuhairy. Cetakan Maktabah Ad-Dalil, Saudi Arabiyah.

3. Pada setiap penyebutan hadits, mula-mula kami uraikan derajat dan takhrij hadits tersebut kemudian kami sebutkan sababul wurudul hadits (sebab datangnya hadits itu dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam) kalau memang hadits tersebut mempunyai sababul wurud lalu kami terangkan Lughatul hadits (penjelasan kata-kata dalam hadits) dan kami tutup dengan menguraikan kandungan pelajaran yang dapat dipetik dari hadits.

4. Titik penekanan dalam syarah ini adalah istimbath (memetik) hukum-hukum dan faedah-faedah dalam hadits. Adapun takhrijul hadits, kami telah menguraikannya dengan lengkap sesuai dengan batas pengetahuan dan pemeriksaan dalam cacatan tersendiri. Tapi syarah ini, akan menjadi panjang dan sulit difahami oleh sebagian pembaca bila "takhrij lengkap" itu kami tuliskan disini. Karena itu takhrij tersebut kadang diringkas sambil menjaga mutu dari takhij itu sendiri.

5. Dalam istimbath hukum-hukum dan faedah-faedah dari hadits, kami akan menguraikannya dengan selengkap mungkin sebab hal tersebut merupakan inti manfaat yang diharapkan dari silsilah syarah Bulughul Maram ini. Wallahu Al-Muwaffiq wa ‘alaihi at-tuklan wal musta’an.


Istilah Khusus Al-Hafizh Ibnu Hajar Dalam Bulughul Maram



Al-Hafizh Ibnu Hajar memakai beberapa istilah yang khusus beliau gunakan dalam “Kitab Bulughul Maram” ini. Istilah-istilah itu beliau terangkan dalam Muqaddimah (pengantar) Kitab Bulughul Maram. Kesimpulannya sebagai berikut :

1. As-Sab’ah (yang tujuh) maksudnya dikeluarkan oleh Ahmad, Al-Bukhary, Muslim, Abu Daud, An-Nasa`i, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.

2. As-Sittah (yang enam) maksudnya semua yang di atas kecuali Ahmad.

3. Al-Khamsah (yang lima) maksudnya semua dari As-Sab’ah kecuali Al-Bukhary dan Muslim dan kadang-kadang Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakannya dengan kata dikeluarkan oleh Al-Arba’ah (yang empat) dan Ahmad.

4. Al-Arba’ah (yang empat) maksudnya semua dari As-Sab’ah kecuali tiga orang yang pertama (Ahmad, Al-Bukhari, dan Muslim).

5. Ats-Tsalatsah (yang tiga) maksudnya semua dari As-Sab’ah kecuali tiga yang pertama dan yang terakhir atau dengan kata lain Ats-Tsalatsah adalah Abu Daud, An-Nasa`i, dan At-Tirmidzy.

6. Muttafaqun ‘alahi (disepakai atasnya) maksudnya riwayat Al-Bukhary dan Muslim. Kadang-kadang dalam suatu hadits, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan “Muttafaqun ‘alaihi” padahal dari As-Sab’ah selain dari Al-Bukhary dan Muslim ada juga yang meriwayatkannya tapi Al-Hafizh sengaja tidak menyebutkannya.

7. Penggunaan dari selain enam istilah di atas akan diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dengan langsung menyebutkan namanya.





Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- :



كِتَابُ الطَّهَارَةِ

( Kitab Thaharah )
Syarah

@ Definisi Kitab

Berkata Ibnul Mulaqqin dalam ‘Al-I’lam bifawa`idi ‘umdatil ahkam 1\135 “yang dimaksud dengan kitab (adalah) apa-apa yang mengumpulkan beberapa bab yang semuanya kembali pada satu pokok”. Lihat juga Nailul Author karya Asy-Syaukany 1\23.

@ Definisi Thaharah

Thaharah secara bahasa adalah berbersih dan bersuci dari kotoran-kotoran.

Lihat Al-I’lam 1\135, Nailul Author 1\23 dan Al-Mubdi’ Karya Ibnu Muflih 1\30.

Adapun secara istilah, menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, Thaharah digunakan dalam dua makna :

Pertama : Thaharah Maknawiyah, yaitu membersihkan hati dari kesyirikan dalam beribadah kepada Allah dan membersihkannya dari penipuan dan kedengkian kepada para hamba-hamba Allah yang beriman. Thaharah Maknawiyah inilah yang merupakan asal dalam thaharah dan Thaharah Maknawiyah lebih umum dari thaharah badan bahkan thaharah badan tidak mungkin terwujud selagi najis kesyirikan masih mengotori Thaharah Maknawiyah. Allah Ta’ala berfirman :



إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ

“Sesungguhnya kaum musyrikin itu adalah najis”. (Q.S.At-Taubah : 28).



Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda :



إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ

“Sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis”. (HSR. Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairah).

Kedua : Thaharah Hissiyah, yaitu Thaharah badan.

Lihat : Asy-Syarah Al-Mumti’ 1\19 dan Fathu dzil Jalaly wal Ikram bi Syarah Bulughul Maram hal. 39-40, keduanya karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Demikian makna thaharah secara umum.

Adapun dalam bab fiqh, thaharah yang diinginkan adalah Thaharah Hissiyah. Karena itulah definisi thaharah dalam uraian ‘ulama fiqh kebanyakannya seputar Thaharah Hissiyah.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzhab 1\123 : “Thaharah dalam istilah ahli fiqh adalah menghilangkan hadats, najis atau apa-apa yang semakna dengan keduanya dan di atas bentuknya.”

Dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-I’lam 1\136 memandang bahwa definisi thaharah yang paling baik dan paling ringkas adalah : “Pekerjaan yang menjadikan diperbolehkannya sholat dengan (mengerjakan)nya.”

Berkata Ibnu Rusyd Al-Qurthuby dalam Bidayatul Mujtahid 1\7 : “Kaum muslimin sepakat bahwa thaharah yang syar’i ada dua ; thaharah dari hadats dan thaharah dari najis. Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa thaharah dari najis tiga jenis ; wudhu, mandi, dan pengganti dari keduanya yaitu tayammum."

@ Wajibnya Thaharah Untuk Shalat

Dalil dari Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) ummat menunjukkan wajibnya ber- thaharah untuk shalat dan shalat tidaklah syah keculai dengan thaharah.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi”.

Dan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda :



لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غَلُوْلٍ

“Tidaklah diterima sholat tanpa thaharah dan tidak pula shadaqah dari ghulul (curian dari harta rampasan perang).” (H.S.R. Muslim).

Dan dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ’ala alihi wa sallam bersabda :



لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak akan menerima sholat salah seorang dari kalian apabila ia berhadats sampai ia berwudhu.” (H.S.R. Muttafaqun ‘alaihi).

Adapun kesepakatan ummat terhadap hal di atas, telah dinukil oleh Ibnu Mundzir dalam Al-Ausath 1\106, Ibnu Hubairoh dalam Al-Ifshoh 1\67 dan An-Nawawy dalam Syarah Muslim 3\1.2.
Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=SilsilahDurus&article=80)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar